Dewasa ini persoalan anak kian kompleks. Segmentasi masalah anak juga beragam; mulai anak korban kekerasan, anak yang diperdagangkan, anak yang dipekerjakan, dieksploitasi, sampai anak yang harus menghadapi nasib perih karena mereka tak save menghadapi seorang guru yang galak dan keras kepala di tempat belajar. Ironisnya, sampai saat ini empati semua komponen masyarakat untuk ikut serta menangani masalah anak dapat dihitung jari. Peran ormas-keagamaan juga belum optimal, atau bahkan belum menjadi prioritas, tenggelam dibandingkan respon mereka dengan isu-isu sosial-politik lainnya.
Kekerasan Berbaju Agama
Kekerasan agama adalah istilah yang penggunaannya sangat luas. Istilah ini digunakan untuk menyebut berbagai fenomena yang terjadi sebagai akibat dari persinggungan antara kekerasan dan doktrin agama. Ia bisa mencakup (1) kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok, baik dari agama yang sama atau berbeda, yang didorong motivasi keagamaan; (2) kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara mengucilkan, mempekerjakan yang tidak sesuai dengan hak dasar insani; dan (3) kekerasan berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau simbol keagamaan seperti kitab suci, nabi, dan tempat peribadatan.
Berdasarkan pengertian di atas, bentuk dan jenis kekerasan agama banyak macam dan ragamnya. Salah satu fenomena yang cukup serius dewasa ini adalah kekerasan pada anak. Tidak sedikit anak dipukul orang tua, dengan motivasi agar mereka menjadi taat; karena taat dipandang sebagai indikator kunci dari anak soleh. Di lembaga pendidikan juga tak luput dari fakta ini. Lembaga pendidikan sebagai wadah fasilitasi dan pengembangan dan multi potensi, terkadang justru keluar dari frame sesungguhnya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa guru masih perlu belajar lebih banyak tentang psikologi anak dan manajemen pengelolaan kelas. Dalam beberapa kasus, anak dipandang sebagai pihak yang pasif, sementara guru sebagai pemegang otoritas segalanya. Ketika anak kritis terhadap apa yang disampaikan guru dipandang sebagai anak yang bandel, tidak taat aturan bahkan dikategorikan sebagai bukan anak saleh.
Dalam bahasa agama, istilah saleh pada umumnya masih dipahami secara tekstual; indikator anak yang saleh; anak yang nurut, kalau diperintah kemana saja mau, pendiam, selalu mendengarkan instruksi orangtua/guru. Pengalaman di beberapa pesantren, anak-anak mudah digerakkan oleh para guru, baik ke arah positif maupun negatif. Secara positif, anak-anak diajak mengikuti kegiatan yang mengasah potensi. Sedangkan yang mengarah ke perbuatan negatif yaitu cenderung menggunakan baju saleh/salehah untuk mempekerjakan mereka di bawah umur. Maksud dari para guru/pihak yayasan adalah melibatkan anak-anak agar terbiasa berbuat sesuatu untuk umat. Namun yang menjadi persoalan, ada sisi lain yang dikesampingkan yaitu proses pembentukan karakter bagi anak. Anak pada umumnya cenderung imitasi. Ketika anak diajari meminta-minta sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bentukan karakter anak. Padahal, proses pengembangan karakter sebagai modal sosial anak untuk melanjutkan tahapan proses berikutnya.
Sekedar sebagai refleksi, kita sangat mudah melihat anak-anak yang mendapat tugas dari sebagian pesantren/yayasan/ panitia pembangunan masjid untuk mencari dana di sejumlah titik strategis. Anak di suruh meminta-minta di pinggir jalan, bis-bis kota dan kapal serta tempat-tempat umum. Ironisnya tidak sedikit pesantren/yayasan/ masjid menggunakan jasa anak di bawah umur. Tentu hal ini sangat naïf bagi institusi berlabel agama. Pada sebagian kasus, yang terjadi adalah eksploitasi anak secara terselubung. Atas nama agama menjual anak-anak ke masyarakat untuk menggalang dana. Tentu langkah ini menjadi keprihatinan bersama.
Survei PPIM (2006) menunjukkan bahwa perilaku kekerasan agama seperti dicontohkan di atas berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur'an, seperti kebolehan orang tua memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.
Seorang tekstualis akan menangkap kebolehan memukulnya ketimbang, katakankah, esensi lebih dalam tentang bagaimana mendidik atau melindungi anak. Model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Namun itu tidak perlu disalahpahami bahwa agama menjadi sumber kekerasan. Semuanya tergantung bagaimana agama dipahami. Model pemahaman keagamaan yang universal jelas akan menghasilkan tafsir agama yang ramah anak dan tidak mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama.
Hasil studi PPIM (2006) menunjukkan tingkat keikutsertaan (participation) maupun kesediaan (decision) orang melakukan kekerasan agama. Sebanyak 46,6% responden menyatakan pernah mencubit anak agar patuh pada orangtua, 22% pernah memukul anak yang telah berumur sepuluh tahun karena meninggalkan salat.
Islam, Bukan Agama Kekerasan
Kehadiran Islam sesungguhnya untuk menyelesaikan problem kemanusiaan. Bagaimana mereka harus bersikap, bersosialisasi, menyelesaikan masalah, senantiasa meniscayakan adanya panduan dari ajaran yang dibawa, meski tidak secara formal. Namun demikian, tidak seluruh ajaran Islam terperinci secara detail, sebagian unsur ajaran masih global dan belum bisa difungsikan secara praktis. Ini bukan mencitrakan adanya problem pada ajaran agama, justru mengandaikan adanya ruang bagi manusia untuk membaca kalam Tuhan, dan memahami sesuai dengan kemampuan, kebutuhan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan termasuk masalah anak.
Di masyarakat sangat mudah ditemukan pemahaman terhadap ajaran Islam yang tekstual. Tekstualisme pemahaman itu dikarenakan oleh kuatnya pengakuan terhadap produk tafsir klasik. Padahal setiap produk tafsir memiliki ruang dan zamannya. Tidak setiap produk tafsir aplikatif di setiap zaman. Yang berdiri di lintas zaman dan ruang adalah prinsip dasar dari ajaran Islam. Islam sesungguhnya bukanlah apa yang ada dalam tafsir. Karena tafsir hanyalah hasil ijtihad ulama pada masanya. Islam adalah agama ramah kepada semua. Anak merupakan bagian dari yang dimulyakan Islam. Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk menyayangi keluarga termasuk anak di dalamnya. Ini menandakan bahwa Rasul mengajarkan umatnya untuk ramah terhadap hak anak. Sabda Rasulullah Saw: "Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang kepada keluarganya. Islam juga mensyariatkan untuk memperhatikan kualitas generasi penerusnya, sebagaimana QS An-Nissa' ayat 9: Artinya:"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka?".
Teks di atas sesungguhnya dapat menjadi counter terhadap beragam tindak kekerasan anak atas nama agama yang ada di masyarakat. Dalam Islam prinsip perlindungan anak merupakan ajaran universal dan bukan ajaran partikular. Ajaran universal adalah ajaran yang tidak dibatasi oleh lintas ruang dan waktu. Kapanpun dan dimanapun semangat perlindungan yang diajarkan oleh Islam hendaknya dapat menyemangati seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Jangan sampai harmonitas keluarga terkikis habis, karena persoalan labelisasi kekerasan pada agama. Bila ini terjadi, nama besar agama sebagai agama rahmat akan ternodai.
Salah satu entry point untuk menyelesaikan persoalan kekerasan berbasis agama adalah reinterpretasi terhadap ajaran Islam. Tujuannya dapat mem- breackdown prinsip universal ajaran agama agar benar-benar menjadi rahmat bagi semua orang. Ini akan menjadi pilar penting dalam pengarusutamaan perlindungan anak di lintas sektoral. Terlebih nilai dasar agama memiliki urgensi yang tinggi untuk membangun budaya anti kekerasan terhadap anak. Memang tidak semua bentuk dan jenis kekerasan anak atas nama agama dapat dinisbatkan pada pemahaman agama yang tekstual. Masih ada variabel lain yang turut menyumbang terjadinya perilaku kekerasan agama. Namun dibanding variabel lainnya, variabel ini cukup berpengaruh mendorong timbulnya perilaku kekerasan anak. Wallahu a’lam
Susanto, MA
Pokja Penelaahan KPAI
Sekretaris Umum Majelis Pimpinan ICMI Muda DKI Jakarta
No comments:
Post a Comment