SERING orang tua bertanya, mengapa watak, kemampuan, dan perilaku anaknya yang sekarang sekolah di SMA ”tiba-tiba” tampak berbeda dengan teman-teman lainnya, padahal ia mengalami masa kecil yang sama dengan teman-teman pada umumnya? ”Bukankah anakku juga minum susu, makan nasi, daging, juga buah dan sayur, plus ice cream, bahkan multi vitamin?”
Pertanyaan itu terus berlanjut. Mengapa anak tetanggaku jadi anak penurut sedang anakku sangat pemberang, anak tetanggaku selalu tersenyum sedang anakku selalu cemberut, anak tetanggaku bisa sangat bandel sedangkan anakku mudah menangis, anak tetanggaku bisa menyanyi dengan suara merdu sedang anakku bersuara sumbang, anak tetanggaku bisa pintar melukis sedang anakku suka mebuat grafiti di tembok rumah? Anak tetanggaku selalu menjadi juara kelas sementara anakku suka tawuran? Apakah ini karena takdir? Kalau begitu mengapa takdir baik selalu jatuh pada orang lain, sementara takdir jelek selalu pada diri saya? Pertanyaan gugatan di atas mencerminkan, bahwa kita lebih suka melihat kepada hasil yang dicapai daripada proses. Kita sering tidak peduli pada proses karena maunya cepat jadi atau ingin instan, maka yang ditempuh adalah jalan pintas. Hasilnya adalah anak seolah-olah bisa; padahal yang terjadi adalah sesuatu yang semu, palsu dan lebih pada ambisi orang tua, bukan kebutuhan anak.
Seperti apa anak setelah dewasa, atau ketika memasuki masa belajar di SMA, SMP bahkan masih di SD, sesungguhnya amat bergantung pada bagaimana orang tua mengasuh anak pada usia lima tahun pertama. Masa ini adalah masa kegemilangan ruang intelektual, emosi, spiritual dan motorik anak, sehingga para ahli anak menyebutnya sebagai masa golden age. Para peneliti menyimpulkan pembentukan intelegensia seorang indivisu 50 % berlangsung pada usia 1-4 tahun, hingga usia 8 tahun menjadi 80 % dan mencapai 100 % pada usia 18 tahun.
No comments:
Post a Comment