Bagaimana kepribadian anak kelak, amat tergantung dari pengasuhan yang diberikan padanya di usia ini. Karena itu, jadilah model yang baik. "Ekki, ayo makan!" Si kecil yang berusia 4 tahun tak bereaksi. Karena diam saja, ibunya kembali menegur, "Ayo, dong, Ekki, makan dulu." Lagi-lagi Ekki diam saja. Ibunya mengulangi menyuruh makan. Ekki cuma menoleh, lalu sibuk menggambar lagi. "Menggambarnya diteruskan nanti, kalau sudah makan," kata ibunya lagi. Ekki bangkit dengan wajah keruh dan berkata, "Lain kali kalau Ekki lagi nggambar, jangan diganggu. Mama, kan, tahu, menggambar itu perlu konsentrasi?"
Ibunya tersentak mendengar jawaban Ekki. Sesaat kemudian baru ia sadar, itu adalah jawaban yang pernah diberikan suaminya beberapa hari lalu ketika ia mengingatkan suaminya yang lupa makan karena asyik melukis. Anda mungkin akan sering dikejutkan oleh "ulah" anak usia ini. Ia bukan hanya akan melontarkan kata-kata yang pernah Anda ucapkan, tapi juga gaya bicara, perilaku Anda sehari-hari, cara Anda berpakaian dan makan, maupun sikap Anda dalam memperlakukan orang lain, dan sebagainya. Baik yang positif, maupun negatif.
Sebetulnya, itulah salah satu cara ia dalam rangka membentuk konsep dirinya. Dalam bahasa psikologi dikenal istilah identifikasi. Melalui identifikasi, kata ahli, seorang anak mengambil karakteristik, kepercayaan/keyakinan, sikap, nilai-nilai dan perilaku orang lain atau grup. "Identifikasi merupakan proses alamiah, bagian dari perkembangan kepribadian anak. Artinya, pada semua anak usia ini pasti mengalami proses identifikasi. Tentu dengan keunikan masing-masing dari anak," jelas Johana Rosalina alias Rosa, konselor di Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta.
DARI IMITASI
Identifikasi merupakan kelanjutan dari proses imitasi/ peniruan di usia batita. Dalam imitasi, anak hanya sekadar meniru omongan atau tingkah laku orang lain. Misalnya ibu mengatakan, "Jangan nakal, ya.", nanti si kecil akan mengatakan hal yang sama pada bonekanya, "Jangan nakal, ya." Atau, ayah memanggil pembantu dengan cara kasar, "Sini kamu!", si kecil pun ikut-ikutan, "Sini kamu!"
Jika anak sudah mulai dengan imitasi, jelas Rosa, berarti ia sudah siap dalam proses identifikasi berikutnya. "Karena ia bukan hanya mengambil gaya bicara dan tingkah laku kita, tapi lebih pada karakteristik kita sebagai manusia dewasa," jelasnya. Jadi, anak bukan hanya sekadar meniru, tapi juga menjadikannya sebagai bagian dari dirinya. "Ia merasa dirinya adalah orang yang ditiru atau model. Ia percaya, ia mampu melakukan apa saja yang dilakukan model. Dalam kehidupan sehari-hari, ia sering mengambil semua yang melekat pada diri model. Ia akan meniru caranya makan, caranya berpakaian, gayanya berbicara dan bertingkah laku, dan sebagainya. Jika si model sedih, ia pun akan ikut sedih," papar lulusan IKIP Jakarta ini.
ANEKA MODEL
Karena identifikasi dimulai dari imitasi, maka orang yang paling berperan dalam kedua proses ini ialah orangtua. Dan karena kehadiran model sangat dibutuhkan anak, maka orangtua perlu menjadi model yang benar sesuai nilai-nilai dalam keluarganya.
Selain orangtua, model lain adalah kakek-nenek, guru, kakak, atlet, bintang film, dan sebagainya. Bahkan, pengasuh atau babysitter. Pendeknya, siapa pun yang dekat dengan anak dan cukup berpengaruh terhadapnya. "Tak apa-apa anak beridentifikasi dengan orang lain. Orangtua tak perlu iri atau cemburu, kenapa, kok, identifikasinya sama Michael Jordan, atlet basket dari Amerika itu, misalnya. Toh, tokoh-tokoh seperti itu juga bisa jadi model yang bagus buat anak, selain orangtua," jelas Rosa.
Hanya saja, lanjut Rosa, orangtua perlu hati-hati. Sebab, tak setiap orang layak dijadikan model identifikasi bagi anak. Ingat, identifikasi menyangkut perkembangan kepribadian. Jika anak beridentifikasi dengan orang yang "salah", bisa dibayangkan bagaimana kepribadian anak nantinya. Tugas orangtua untuk menyaring model identifikasi anak.
BERI CONTOH
Bagaimana cara menyaringnya? Jadikan diri kita sebagai model identifikasinya! Sebab, kitalah pemilik nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada anak sebagai dasar pembentukan kepribadiannya. Jika Anda ingin ia punya sopan santun, mulailah dari diri Anda sendiri. Misal, memanggil pengasuhnya dengan sebutan "Mbak", bukan dengan nama, terutama di hadapan si kecil.
Ingat, Anda adalah model identifikasinya. Ia akan mencontoh semua yang melekat pada diri Anda, termasuk sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan Anda. Hati-hati terhadap sifat dan kebiasaan-kebiasaan buruk, jika Anda tak ingin ia mencontohnya. Begitu pun jika Anda ingin ia jadi anak disiplin, sekaranglah saatnya Anda menanamkan nilai-nilai itu. Sekali lagi, Anda yang harus mulai lebih dulu.
Jika Anda ingin ia punya kebiasaan sikat gigi dua kali sehari, misalnya, beri tahu ia saat Anda melakukannya dan ajak ia menyikat gigi bersama. Satu hal penting agar identifikasi berjalan mulus, beri contoh wajar, tak perlu dibuat-buat. Hindari perilaku kasar (semisal memukul anak) jika ia melanggar disiplin atau berkata tak sopan. Jangan lupa, ia mencontoh Anda karena Andalah model identifikasinya. Misalnya ia lupa sikat gigi pagi. Tak perlu menghukumnya. Cukup katakan, "Nggak apa-apa. Tapi nanti malam jangan lupa, ya."
TITIPAN KHUSUS
Jangan jadikan kesibukan bekerja sebagai alasan jika si kecil lebih memilih beridentifikasi dengan pengasuhnya atau orang lain yang dekat dengannya. Meski ayah-ibu bekerja penuh waktu, nilai-nilai baik tetap dapat ditanamkan. Caranya, "titipkan" lewat orang yang sehari-hari mengasuhnya, entah pembantu, babysitter, atau kakek-nenek.
Beri tahu mereka, kebiasaan-kebiasaan apa saja yang Anda tanamkan pada anak. Minta mereka untuk tak menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan itu selagi Anda tak di rumah. Katakan apa yang boleh dan tak boleh mereka lakukan terhadap si kecil, sesuai nilai-nilai yang ingin Anda tanamkan pada anak. Dengan demikian, meski Anda hanya punya sedikit waktu bersama anak, ia akan tetap mengacu pada Anda sebagai model identifikasinya. Bukan tak mungkin ia akan berkata pada pengasuhnya, "Mbak, kok, omongnya begitu, sih? Kan, Bunda sudah bilang, kita tidak boleh omong kasar." Atau, "Kata Ayah, kita enggak boleh, lo, mukul kucing. Kenapa Mbak mukul?" Nah, bila Anda mengabaikan "titipan-titipan" itu, jangan salahkan anak atau pengasuhnya jika ia "memilih" pengasuhnya sebagai model identifikasi. Atau, bisa juga orang lain yang di luar dugaan Anda, seperti tokoh-tokoh yang ia saksikan di layar kaca.
HATI-HATI TEVE
Tahu film seri anak-anak Power Ranger? Nah, Anda lihat sendiri, kan, banyak anak yang meniru-niru para jagoan di film itu. Nah, di sini Anda kembali harus hati-hati. Sebab, "Anak-anak yang intens 'berelasi' dengan TV, bisa menjadikan tokoh di TV sebagai model identifikasinya. Apalagi jika ia sering sekali melihat tokoh itu tampil di layar kaca," kata Rosa.
Selain itu, identifikasi juga tak bisa terlepas dari kemampuan imajinasi anak. Anak yang ingin jadi pahlawan seperti Batman, misalnya. Ia pun mengidentifikasikan diri dengan tokoh hero itu. Untuk kasus seperti ini, pesan Rosa, "Jelaskan, mana tokoh yang real dan tokoh dalam dongeng." Misalnya, katakan padanya, "Batman itu baik, tapi sayangnya ia tak hidup di dunia ini. Dengan demikian anak tahu, kalaupun ingin mencontoh, ia akan mengambil sifat-sifatnya saja yang baik, tanpa harus secara fisik melakukan apa yang dilakukan Batman," jelas lulusan S2 bidang konseling dari St. Clara University, USA ini.
JADI AGRESIF
Masih menurut Rosa, jarang sekali anak yang tak beridentifikasi dengan orangtua. Jikapun ada, berarti ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkannya. Misal, orangtua mengalami hambatan dalam perkembangan nilainya sendiri sebagai pribadi, sehingga mereka tak tahu bagaimana mentransfer nilai-nilai itu pada anak. Di sini terjadi hambatan komunikasi. Orangtua pun menjadi sangat pasif untuk membuat anaknya mencontoh dia. Bisa juga karena orangtua mengalami gangguan emosi atau gangguan relasi, sehingga perlu pertolongan ahli. Otomatis orangtua tak bisa menjadi model identifikasi anaknya.
Yang paling sering terjadi, orangtua tak kompeten sebagai model. Misal, kelewat sibuk sehingga perhatiannya, baik kualitas maupun kuantitas, terhadap anak sangat minim. Mereka begitu percaya, peran mereka dapat digantikan orang lain seperti pengasuh atau kakek-nenek.
Jika orangtua tak bisa diandalkan sebagai model identifikasi, maka harus dicari penggantinya. Sebab, anak sangat butuh model identifikasi. "Jika anak mempunyai model identifikasi, ia akan bahagia. Tapi jika tak ada orang yang bisa dijadikan model atau modelnya jelek, ia akan menjadi anak yang tak bahagia," kata Rosa. Yang disebut terakhir oleh Rosa, kelak akan cenderung menjadi anak yang mengalami gangguan konsep diri, anti sosial, agresif, dan lainnya. Nah, sudah siap, kan, menjadi model yang baik untuk si kecil?
Sumber: tabloid-nakita.com
No comments:
Post a Comment