Anda tentu pernah menyaksikan iklan susu di layar kaca yang terasa sangat menggelitik. Digambarkan seorang bocah perempuan yang sedang menemani ayahnya nonton pertandingan sepak bola antara kesebelasan Jerman dan Brasil di televisi. Tak habis-habisnya si anak mengajukan pertanyaan tajam. Begitu melihat wasit mengenakan kostum yang berbeda dari para pemain, ia menanggapi, "Wasit itu temennya Jerman atau Brasil?" Lalu, saat ayahnya sibuk menjawab, ia terus mengejar dengan pertanyaan lain, "Jadi, Jerman sama Brasil itu jauh mana?"
Anda pasti akan geleng-geleng kepala menyaksikan ulah si anak kritis. Padahal, tukas Vera Itabiliana, Psi., geleng-geleng kepala saja tidak cuku, lo. "Orang tua harus bijak menghadapi anak seperti ini, sebab kalau sampai salah penanganan, kasihan anaknya," ujar psikolog dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Jakarta.
TIDAK TERGANTUNG TINGKAT KECERDASAN
Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya dipahami dulu mengapa ada anak yang cenderung bersikap kritis dan ada juga yang tidak. "Sikap kritis ini biasanya dominan saat anak berusia tiga tahun lebih. Di usia ini rasa ingin tahu anak sedang meluap-luap," ujar Vera. Kritis atau tidaknya seorang anak, sama sekali tidak tergantung pada tingkat kecerdasan. Bisa saja anak dengan taraf kecerdasan rata-rata lebih kritis dibanding anak dengan taraf kecerdasan jauh di atas rata-rata. "Yang paling menentukan adalah lingkungan di mana si anak dibesarkan. Dalam hal ini lingkungan keluarganya. Anak yang kritis biasanya adalah anak yang mendapat keleluasaan untuk mengemukakan pendapat. Si anak bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa takut 'dibantai' atau dimarahi," lanjut Vera.
Selain itu, banyaknya rangsangan dari luar juga dapat membantu anak mempertajam kemampuan berpikirnya. Rangsangan dari luar ini dapat berupa informasi mengenai berbagai hal di lingkungannya. Informasi ini dapat diberikan oleh orang tua secara aktif melalui berbagai media, seperti buku, televisi, rekreasi ke tempat baru, dan sebagainya. Orang tua bisa membacakan cerita, menerangkan tentang tempat yang dikunjungi atau apa saja yang ditemui di lingkungan sekitar. Dengan begitu, diharapkan anak dapat terpancing untuk bertanya, karena bertanya merupakan salah satu dari wujud berpikir kritis, demikian Vera menggarisbawahi.
BAGAIMANA MENYIKAPINYA?
Jadi, kunci sikap kritis anak ada pada orang tua. Vera menyingkatnya dalam enam langkah agar daya kritis anak makin terasah.
1.Kesabaran
2.Kesabaran orang tua boleh dibilang memegang peran terpenting. Tanpa kesabaran, orang tua akan gampang 3.bosan menjawab pertanyaan kritis anaknya. Padahal bukankah kebosanan menjawab identik dengan memadamkan hasrat anak untuk bertanya dan tahu lebih banyak?
4.Kesiapan
5.Mau tidak mau orang tua memang dituntut untuk harus selalu siap menghadapi reaksi anak mengenai berbagai hal yang sedang dilihat/dibaca/didengarnya. Dengan demikian, orang tua tidak akan merasa terkejut atau terganggu oleh sikap kritis anak karena bisa mengantisipasi sebelumnya.
6.Sepakati Aturan Main
Ketika akan bepergian ke suatu tempat baru atau melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, semisal arisan, bank/kantor, pesta perkawinan, ada baiknya sepakati aturan main. Ini perlu karena bukan tidak mungkin sikap kritisnya akan "mengganggu". Ajak anak bicara tentang situasi yang akan ditemui dan perilaku seperti apa yang diharapkan darinya. Semisal tidak bertanya-tanya terus selagi orang lain bicara. Jika perlu, mintalah padanya untuk sementara waktu "menyimpan" pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, berjanjilah untuk membahasnya begitu sampai di rumah.
Jangan Menunjukkan Respons Negatif
Dalam hal ini, kemampuan orang tua untuk mengontrol dirinya sendiri memang diuji. Amat bijaksana bila orang tua tidak menunjukkan respons negatif atas sikap kritis anak, seperti marah atau kesal de-ngan membentak atau malah menyuruh anak diam. Tang- gapilah sikap kritis anak dengan positif. Tersenyumlah dan dengarkan pertanyaannya. Jika orang tua belum bisa menjawab pertanyaan tersebut saat itu juga, jangan sungkan untuk meminta anak menunggu Anda siap menjawabnya. Jangan lupa juga untuk menjelaskan kenapa pertanyaan tersebut belum bisa dijawab. Contohnya, "Wah... pertanyaanmu bagus banget. Mama senang sekali menjawabnya. Tapi sekarang Mama lagi sibuk masak. Gimana kalau Mama jawabnya nanti saja setelah masakannya matang. Soalnya kalau Mama enggak konsentrasi, nanti masakannya bisa gosong dan rasanya jadi tidak enak. Setuju?"
Bisa juga orang tua menjawab 1-2 pertanyaan anak. Jika ia masih bertanya terus, jelas- kan kondisi orang tua yang sedang tidak memungkinkan untuk melayaninya. Tentukan kapan waktu yang dirasa pas untuk melanjutkan "diskusi" tersebut.
Dengarkan Baik-baik
Sebelum menjawab, dengarkan.... (Bersambung)
Sumber : Tabloid nakita
No comments:
Post a Comment