Sambungan dari Bagian 1
..... Bisa juga orang tua menjawab 1-2 pertanyaan anak. Jika ia masih bertanya terus, jelas- kan kondisi orang tua yang sedang tidak memungkinkan untuk melayaninya. Tentukan kapan waktu yang dirasa pas untuk melanjutkan "diskusi" tersebut.
Dengarkan Baik-baik
Sebelum menjawab, dengarkan baik-baik dan pahami benar apa yang ditanyakan anak. Bahkan kalau perlu ajukan pertanyaan balik agar jawaban benar-benar memenuhi kebutuhan anak, selain untuk menghindari salah paham. Soalnya, pengertian/istilah tertentu bisa saja diartikan berbeda oleh anak. Misal, "pacaran" bagi anak adalah jalan bareng sambil berpegangan tangan yang tentu saja berbeda dengan pemahaman orang dewasa.
Arahkan pada Penemuan Jawaban
Untuk lebih melatih ketajaman berpikir anak, orang tua sebaiknya membimbing anaknya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Caranya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penemuan jawaban.
CUKUP JAWABAN SEDERHANA
Adakalanya pertanyaan anak kritis membuat orang tua gelagapan tak tahu harus menjawab apa yang ditanyakan si anak. "Ayah, CD (compact disc) itu terbuat dari apa, sih? Kok, dari benda setipis ini bisa keluar gambar di teve?" Tak banyak orang tua yang memahami hal-hal yang berbau teknologi canggih seperti itu. Menghadapi pertanyaan rumit seperti ini sebaiknya orang tua tetap mencoba menjawab.
"Serumit apa pun pertanyaan anak, belum tentu membutuhkan jawaban yang tak kalah rumit," tandas Vera. Pemikiran anak yang masih sederhana bisa terpenuhi dengan penjelasan yang menggunakan bahasa sederhana. Sederhana di sini tentu saja bukan jawaban yang asal-asalan. Untuk memudahkan, berilah ia perumpamaan dengan hal-hal yang dekat dengan kesehariannya. Kalaupun pertanyaannya terlalu sulit dan orang tua tidak bisa menjawab, "Sebaiknya berterus terang saja," saran Vera. Namun jangan puas untuk berhenti sampai di situ saja. Orang tua haruslah menawarkan alternatif solusi bagaimana jawaban atas pertanyaan itu bisa diperoleh.
Contohnya, "Wah, terus terang Papa belum tahu jawabannya. Bagaimana kalau kita cari sama-sama jawabannya di kamus atau ensiklopedi?" Atau, "Sayang sekali, ya, Mama enggak tahu jawabannya. Tapi nanti di kantor Mama coba tanya-tanya ke teman Mama atau Mama cari di internet, deh. Mudah-mudahan besok Mama sudah dapat jawabannya." Dengan demikian anak akan belajar memahami bahwa ketidaktahuan merupakan hal yang wajar. Selain itu, ia juga bisa mengerti bahwa seseorang yang tidak tahu dapat menjadi tahu dengan cara bertanya pada orang yang lebih tahu atau mencari jawabannya di buku pintar. Dengan demikian, kendati pertanyaannya tidak langsung terjawab, rasa ingin tahunya tetap berkembang.
Menurut Vera, yang harus diusahakan adalah jangan sampai pertanyaan anak tidak terjawab. Pertanyaan yang tidak terjawab akan meninggalkan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kalau sudah begini ia akan terus mencari pemenuhan atas kebutuhan tersebut. "Nah, daripada ia menemukan pemenuhan tersebut dari sumber-sumber yang tidak jelas dan belum tentu benar, sebaiknya anak memperoleh apa yang ia butuhkan dari orang tuanya."
BILA SIKAP KRITIS DITANGGAPI POSITIF
Bila orang tua selalu mengakomodasi keingintahuan anak, menurut Vera ada beberapa dampak positif yang bakal didapatnya:
1.Rasa ingin tahunya terus berkembang dan ini akan menguatkan motivasinya untuk terus mempelajari hal-hal baru. Termasuk pelajaran di sekolah, hingga ia terlihat penuh semangat.
2.Tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri karena merasa diterima oleh orang tua/lingkungan terdekatnya.
3.Ketajaman berpikirnya semakin terasah.
4.Memperoleh kesempatan untuk menambah kosakata baru yang didapatnya dari pertanyaan yang diajukan sekaligus memperluas wawasannya.
BILA DITANGGAPI NEGATIF
Tanggapan yang tidak bijaksana terhadap sikap kritis anak hanya akan melahirkan beberapa dampak merugikan. Berikut uraian Vera:
1.Mematikan kreativitas dan rasa ingin tahu anak. Dengan begitu, ia tidak lagi terdorong untuk menggali hal-hal baru yang ditemuinya. Semua diterima secara pasif sebagaimana adanya.
2.Anak jadi kurang percaya diri karena merasa selalu disalahkan dan dianggap sebagai pengganggu.
3.Anak akan tumbuh jadi orang yang cenderung memilih diam. Baginya diam berarti "aman" dan membuatnya terhindar dari berbagai kesulitan.
4.Anak jadi frustrasi karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
5.Anak terdorong untuk mencari sumber lain yang belum tentu benar guna memenuhi kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari orang tua.
6.Merenggangkan hubungan anak dengan orang tua. Anak enggan terbuka pada orang tua karena menganggap orang tuanya kurang kompeten, minimal enggak asyik diajak "ngobrol".
AGAR ANAK KRITIS
Seperti telah dikatakan Vera, sikap kritis seseorang tidak berbanding lurus dengan tingkat kecerdasannya. Beberapa hal berikut bisa dilakukan orang tua untuk merangsang sikap kritis anak.
1.Berikan kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengemukakan buah pikirannya maupun urun pendapat. Hilangkan budaya dimana "apa kata mama/papa" merupakan sesuatu yang mutlak alias tak bisa ditawar.
2.Latih anak untuk memecahkan masalah-masalah keseharian sesuai dengan tahapan usianya. Lontarkan pertanyaan-pertanyaan yang merangsangnya untuk menemukan solusi. Contohnya ketika anak berniat main di luar rumah, tanyakan, "Bagaimana, ya, caranya memindahkan mainan sekaligus dari kamar ke pekarangan?"
3.Berikan kesempatan seluasnya pada anak untuk menemukan hal-hal baru. Bisa tempat yang belum pernah dikunjungi, buku atau sarana lainnya. Lalu biarkan anak menggali pertanyaan tentang hal-hal baru tersebut.
Ada jenis percakapan yang dapat membantu merangsang sikap kritis anak, yakni:
1.Membicarakan suatu hal dari sisi baik dan buruknya.
2.Ajak anak berandai-andai menjadi orang lain.
3.Libatkan anak membicarakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu kejadian. Contohnya, "Apa ya yang kira-kira terjadi kalau hujan enggak berhenti selama berhari-hari?"
Sumber : Tabloid nakita
www.smartbee221.blogspot.com
No comments:
Post a Comment