Monday 27 July 2009

Memilih Perlengkapan Si Kecil

Hampir semua orangtua ingin melihat anaknya tampil gaya. Wajar bila kita membelikan mereka pakaian, sepatu, dan aksesoris yang lucu-lucu. Tapi sebelum membeli perlengkapan si kecil, jangan lupa untuk memperhatikan faktor kenyamanan dan keamanan bila digunakan si kecil. Jangan sampai ketika busana dikenakan, mereka merasa gerah, gatal, sakit, hingga menimbulkan iritasi pada kulit.

Memilih Bahan Pakaian
Jangan sampai salah memilih bahan pakaian untuk si kecil, sebab salah sedikit saja dapat membuat ia kegerahan. Karenanya pilih bahan yang lembut sehingga mereka terhindar dari sensitif kulit. Berhubung kulit bayi masih peka dan lembut, sebafimya pilih pakaian dari bahan-bahan jenis ini nyaman dan mampu menyerap keringat. Sebaiknya hindari bahan pakaian dari nilon, linen, parasut atau wol karena bahan ini kurang menyerap keringat, dan mudah panas, sehingga dapat membuat kulit si kecil iritasi.

Memilih Model Pakaian
Selain memperhatikan bahan, model pun menjadi perhatian tersendiri dalam memilih. Sebaiknya pilih ukuran yang sesuai dengan tubuh si kecil, jangan terlalu gombrang atau kesempitan. Jika baju yang dikenakan terlampau gombrong, si kecil akan sulit bergerak, sedangkan bila kesempitan, mereka akan merasa tak nyaman, karena tubuhnya terasa ada yang mengikat. Nah, jika Anda ingin membelikan model lengan panjang, sebaiknya lihat cuaca dan prilaku anak terlebih dahulu. Apabila mereka cepat sekali berkeringat, sebaiknya hindari baju lengan panjang, kenakan mereka baju tanpa lengan. Sedangkan buat anak yang masih kecil pilihkan baju yang berkancing depan, agar mudah memasangnya.

Memilih Sepatu
Memilih sepatu anak memang gampang-gampang susah. Gampang karena dipasaran banyak sekali model sepatu untuk anak, tapi tak semua model cocok untuknya Karenanya harus memilih sepatu dengan teliti. Belilah sepatu dengan sol yang lembut, datar, dan tidak licin. Karena kaki perlu bernapas, pilihlah jenis sepatu yang tebuat dari kulit, kain, atau kanvas, hindari yang berbahan plastik, sebab keringat sulit menguap. Pilih ukuran sepatu yang tak sempit di kaki. Idealnya sepatu pas di kaki atau lebihkan sedikit di bagian ujungnya.langan lupa untuk memeriksa 3 bulan sekali sepatu si kecil, tujuannya agar terdeteksi apakah jarinya mulai menekuk di ujung sepatu, yang berarti Anda harus mengganti sepatu si kecil.

Memilih Kaus Kaki
Layaknya sepatu, kaus kaki juga mendukung kenyamanan anak saat berjalan. Untuk itu, pilih kaus kaki yang lembut dan bahannya menyerap keringat. Pilihlah bahan katun sehingga sirkulasi-udara dalam sepatu lebih baik. Supaya peredaran darah pada kaki lancar, berikan mereka kaus kaki yang tak terlalu ketat. Bila buah hati Anda perempuan, tentu Anda gemas ingin membelikan aksesoris. Apalagi berbgai aksesoris lucu dan tren beredar untuk para anak-anak. Dalam memilih aksesoris untuk si kecil Anda harus lebih teliti dan hati-hati, sebab banyak jepitan, bando yang buatannya tajam, sehingga bila dipakaikan ke rambut bisa melukai anak. Jika ingin bayi nan mungil Anda mengenakan bando, pilihlah bando dari bahan bando, jangan lupa lihat apakah karetnya cukup longgar atau terlalu ketat dikepala.

Memilih Topi
Aksesoris yang satu ini paling aman dan baik untuk bayi. Selain melindungi dari sengatan matahari, topi dapat membuat si kecil tak kedinginan saat musim hujan tiba. Selain itu topi juga tak membuat si kecil terluka atau gatal. Apalagi banyak model topi yang bisa jadi alternatif pilihan. Untuk si kecil, pilihkan topi berbahan kaus atau katun agar ia tak kegerahan.
Memilih Celana

Biasanya celana panjang digunakan jika menghadiri acara formal, tapi tak ada salahnya bila Anda mengenakan si kecil celana pendek. Asalkan bila untuk pergi pilih dari bahan kain atau kaus yang nyaman. Bila Anda ingin membeli celana dari bahan jins, pilih jins yang tidak keras bahannya, karena bisa membuat si kecil merasa tak nyaman. Sekarang sudah banyak kok bahan jins yang lembut dan nyaman di kulit. (Esi) Sumber: Tabloid Ibu & Anak

Sumber : kumpulbocah.com

Belajar Yang Menyenangkan (?)

“Anak saya ketika belum sekolah sangat ingin bersekolah, setelah bersekolah kok sekarang dia jadi takut ke sekolah? Katanya gurunya galak!”

Di tengah carut marutnya pendidikan kita ungkapan ini mungkin saja pernah kita dengar. Jika ungkapan ini dapat dijadikan acuan, tentu dapat dimunculkan pertanyaan, kenapa?

Thomas Amstrong dalam bukunya, “Setiap Anak Cerdas” menulis sebagai berikut. Di tahun 1980-an John Goodlad mantan dekan School of Education di UCLA, dan rekan-rekannya mengunjungi sekitar seribu ruang kelas di Amerika Serikat. Gambaran yang diberikannya adalah dunia gersang tanpa kegembiraan dalam skala besar. Goodlad menulis, “Kami jarang melihat tawa, sikap antusias yang berlebihan, atau letupan kemarahan yangdirasakan bersama. Kurang dari 3 persen waktu kelas digunakan untuk pujian, komentar menyakitkan, ekspresi sukacita atau humor, atau luapan spontan seperti ‘wow’ atau ‘asyiik’.

Setiap hari, kurang dari 1 persen waktu belajar dipakai untuk melibatkan murid dalam berbagi pendapat atau secara terbuka membahas sesuatu masalah atau topik. Semua ruang kelas sekolah dasar didominasi guru, sedangkan murid tidak berwenang menentukan apapun. Sejak itu keadaan malah menjadi semakin buruk. Meski di era tahun 1990-an terjadi gelombang reformasi, tampaknya sekarang ada pergerakan kembali ke situasi ruang kelas yang bahkan lebih suram,” demikan Goodlad.

Apa yang terungkap dari hasil penelitian ini adalah apa yang terjadi di Amerika Serikat, bagaimana dengan Indonesia? Agaknya persoalan guru dan murid dimanapun agaknya sama. Guru yang berpenghasilan rendah dengan setumpuk tugas ( ini lho tugas guru: 1. Mendidik, 2. Mengajar, 3. Menilai, 4. Mendokumentasikan Hasil Penilaian, Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi: 5. Mengenal karakter dan potensi siswa satu persatu, 6. Menyusun Rencana Pembelajaran, 7. Membuat Silabus, 8. Melaksanakan Remedi, 9. Melakukan Pengayaan). Belum lagi urusan dapur yang enggak pernah stabil.

Tidak salah jika teman penulis Shinse Yap - yang tinggal di Cengkareng Jakarta Barat dan dari tubuhnya bisa keluar energi listrik ratusan volt – berkata, “Guru itu penyakitnya ya darah tinggi, kalo enggak ya Mag.”

Soal murid tak kurang peliknya. Saat ini murid dimanapun di dunia diserang dengan apa yang disebut “westernmind”, kapitalis-hedonis, suatu gaya hidup yang memunculkan paradigma; sukses itu identik dengan mobil mewah, rumah bagus, uang banyak, perempuan cantik, dan bergaya hidup barat, kalo enggak ya enggak modern. Seperti manusia dewasa, murid-murid juga “diserang” oleh perubahan situasi yang tidak jelas arahnya. Nilai-nilai agama dan tradisi yang diajarkan oleh leluhur menjadi jungkir balik ketika harus berhadapan dengan acara-acara televisi yang menampilkan seks bebas, menjanjikan sukses dan terkenal dalam sekejap asal mampu tampil menarik dan bisa sedikit tarik suara dan lain-lain acara yang menafikan: Kerja Keras, Kerja Cerdas, Cinta Ilmu Pengetahuan, Keimanan dan Ketaqwaan.

Dua figur dengan persepsi yang berbeda tentang hidup, bertemu dalam satu ruang yang bernama kelas. Figur yang pertama, guru dengan tugas dan persoalan pribadi yang bisa bikin dia stress, figur yang kedua, murid yang terombang-ambing dalam pusaran perubahan nilai-nilai yang maha dahsyat, yang bisa membuat dia stress dan berujung pada narkoba.
Apa yang terjadi jika kedua figur ini tidak dapat membangun kesepakatan- kesepakatan? Kedua-duanya stress, hasilnya adalah kelas yang muram, belajar mengajar hanya sekedar rutinitas dan menggugurkan kewajiban tanpa makna.

Dalam setiap situasi selalu ada jalan keluar untuk sebuah solusi. Barangkali belajar yang menyenangkan yang penulis cuplik dari bukunya Bobi Deporter : Quantum Teaching/Learning bisa dijadikan renungan dan acuan. Bobbi Deporter, menamai Kerangka Belajar dan Mengajar Interaktif lewat Quantum Teaching/Learning dengan: TANDUR, akronim dari:

TUMBUHKAN
Tumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan rasa ingin tahu siswa dalam bentuk: Apakah Manfaatnya BAgiKu (AMBAK) jika aku mengikuti topik pelajaran ini dengan guru anu?
Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati siswa, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah ke alam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke alam pikiran Anda, yakinkan siswa mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan.

Tumbuhkan NIAT YANG KUAT pada diri Anda bahwa Anda akan menjadi guru dan pendidik yang hebat. Tumbuhkan strategi mengajar dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di dalam kelas, di luar kelas, di dalam sekolah dan di luar sekolah.

ALAMI
Unsur ini mendorong hasrat alami otak untuk “menjelajah”. Cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? Kegiatan apa yang dapat diberikan agar pengetahuan dan ketrampilan yang sudah dimiliki siswa, misalnya, dapat membuktikan bahwa kuat lemahnya arus listrik yang mengalir pada penghantar dipengaruhi oleh besarnya perlawanan (resistance) dari penghantar, luas penampang penghantar dan panjang penghantar?, bandingkan dengan keausan ban mobil jika dikaitkan dengan panjang jalan dan kondisi jalan raya. Atau bawa mereka ke pantai, genggam pasir kwarsa yang ada di pantai, ajukan pertanyaan:”Mengapa pasir ini ada disini, darimana sesungguhnya pasir ini berasal!” Seorang anak balita menyentuh ujung obat nyamuk yang terbakar, “Aww” dia menjerit. Tercipta suatu momen belajar dari abstrak:”Panas – Jangan Sentuh, menjadi kongkret.

NAMAI
Setelah siswa melalui pengalaman belajar pada topik tertentu, ajak mereka untuk menulis di kertas, menamai apa saja yang telah mereka peroleh, apakah itu informasi, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya, ajak mereka untuk menempelkan nama-nama tersebut di dinding kelas dan dinding kamar tidurnya.

DEMONSTRASIKAN
Ingatkan Anda ketika pertama kali mengenderai sepeda? Anda mencoba dan jatuh (ini pengalaman). Anda coba lagi, berhenti, bertanya, barangkali Anda dapat informasi atau latihan dari saudara, kakak, atau teman (penamaan). Kemudian Anda benar-benar mengaitkan pengalaman dan nama dengan cara menunjukkan dan melakukannya!

ULANGI
Melalui pengalaman belajar siswa mengerti dan mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi) dan informasi (nama) yang cukup, sudah saatnya dia mendemontrasikan dihadapan guru, teman, maupun saudara-saudaranya.

Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!” Pengulangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan konsep multi kecerdasan (baca buku setiap anak cerdas- Thomas Amstrong).

RAYAKAN
Perayaan adalah ekspresi atau kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Umat Islam merayakan Iedul Fitri (kembali suci) karena telah berhasil mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan baik. Jadi, jika siswa sudah mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik layak untuk dirayakan lewat: bertepuk tangan, jentik jari, atau bernyanyi bersama-sama, atau secarabersama-sama mengucapkan:”AKU BERHASIL!”

Oleh: Achjar Chalil

Bagaimana Anak, Tergantung Model

Bagaimana kepribadian anak kelak, amat tergantung dari pengasuhan yang diberikan padanya di usia ini. Karena itu, jadilah model yang baik. "Ekki, ayo makan!" Si kecil yang berusia 4 tahun tak bereaksi. Karena diam saja, ibunya kembali menegur, "Ayo, dong, Ekki, makan dulu." Lagi-lagi Ekki diam saja. Ibunya mengulangi menyuruh makan. Ekki cuma menoleh, lalu sibuk menggambar lagi. "Menggambarnya diteruskan nanti, kalau sudah makan," kata ibunya lagi. Ekki bangkit dengan wajah keruh dan berkata, "Lain kali kalau Ekki lagi nggambar, jangan diganggu. Mama, kan, tahu, menggambar itu perlu konsentrasi?"

Ibunya tersentak mendengar jawaban Ekki. Sesaat kemudian baru ia sadar, itu adalah jawaban yang pernah diberikan suaminya beberapa hari lalu ketika ia mengingatkan suaminya yang lupa makan karena asyik melukis. Anda mungkin akan sering dikejutkan oleh "ulah" anak usia ini. Ia bukan hanya akan melontarkan kata-kata yang pernah Anda ucapkan, tapi juga gaya bicara, perilaku Anda sehari-hari, cara Anda berpakaian dan makan, maupun sikap Anda dalam memperlakukan orang lain, dan sebagainya. Baik yang positif, maupun negatif.

Sebetulnya, itulah salah satu cara ia dalam rangka membentuk konsep dirinya. Dalam bahasa psikologi dikenal istilah identifikasi. Melalui identifikasi, kata ahli, seorang anak mengambil karakteristik, kepercayaan/keyakinan, sikap, nilai-nilai dan perilaku orang lain atau grup. "Identifikasi merupakan proses alamiah, bagian dari perkembangan kepribadian anak. Artinya, pada semua anak usia ini pasti mengalami proses identifikasi. Tentu dengan keunikan masing-masing dari anak," jelas Johana Rosalina alias Rosa, konselor di Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta.

DARI IMITASI
Identifikasi merupakan kelanjutan dari proses imitasi/ peniruan di usia batita. Dalam imitasi, anak hanya sekadar meniru omongan atau tingkah laku orang lain. Misalnya ibu mengatakan, "Jangan nakal, ya.", nanti si kecil akan mengatakan hal yang sama pada bonekanya, "Jangan nakal, ya." Atau, ayah memanggil pembantu dengan cara kasar, "Sini kamu!", si kecil pun ikut-ikutan, "Sini kamu!"

Jika anak sudah mulai dengan imitasi, jelas Rosa, berarti ia sudah siap dalam proses identifikasi berikutnya. "Karena ia bukan hanya mengambil gaya bicara dan tingkah laku kita, tapi lebih pada karakteristik kita sebagai manusia dewasa," jelasnya. Jadi, anak bukan hanya sekadar meniru, tapi juga menjadikannya sebagai bagian dari dirinya. "Ia merasa dirinya adalah orang yang ditiru atau model. Ia percaya, ia mampu melakukan apa saja yang dilakukan model. Dalam kehidupan sehari-hari, ia sering mengambil semua yang melekat pada diri model. Ia akan meniru caranya makan, caranya berpakaian, gayanya berbicara dan bertingkah laku, dan sebagainya. Jika si model sedih, ia pun akan ikut sedih," papar lulusan IKIP Jakarta ini.

ANEKA MODEL
Karena identifikasi dimulai dari imitasi, maka orang yang paling berperan dalam kedua proses ini ialah orangtua. Dan karena kehadiran model sangat dibutuhkan anak, maka orangtua perlu menjadi model yang benar sesuai nilai-nilai dalam keluarganya.

Selain orangtua, model lain adalah kakek-nenek, guru, kakak, atlet, bintang film, dan sebagainya. Bahkan, pengasuh atau babysitter. Pendeknya, siapa pun yang dekat dengan anak dan cukup berpengaruh terhadapnya. "Tak apa-apa anak beridentifikasi dengan orang lain. Orangtua tak perlu iri atau cemburu, kenapa, kok, identifikasinya sama Michael Jordan, atlet basket dari Amerika itu, misalnya. Toh, tokoh-tokoh seperti itu juga bisa jadi model yang bagus buat anak, selain orangtua," jelas Rosa.

Hanya saja, lanjut Rosa, orangtua perlu hati-hati. Sebab, tak setiap orang layak dijadikan model identifikasi bagi anak. Ingat, identifikasi menyangkut perkembangan kepribadian. Jika anak beridentifikasi dengan orang yang "salah", bisa dibayangkan bagaimana kepribadian anak nantinya. Tugas orangtua untuk menyaring model identifikasi anak.

BERI CONTOH
Bagaimana cara menyaringnya? Jadikan diri kita sebagai model identifikasinya! Sebab, kitalah pemilik nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada anak sebagai dasar pembentukan kepribadiannya. Jika Anda ingin ia punya sopan santun, mulailah dari diri Anda sendiri. Misal, memanggil pengasuhnya dengan sebutan "Mbak", bukan dengan nama, terutama di hadapan si kecil.

Ingat, Anda adalah model identifikasinya. Ia akan mencontoh semua yang melekat pada diri Anda, termasuk sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan Anda. Hati-hati terhadap sifat dan kebiasaan-kebiasaan buruk, jika Anda tak ingin ia mencontohnya. Begitu pun jika Anda ingin ia jadi anak disiplin, sekaranglah saatnya Anda menanamkan nilai-nilai itu. Sekali lagi, Anda yang harus mulai lebih dulu.

Jika Anda ingin ia punya kebiasaan sikat gigi dua kali sehari, misalnya, beri tahu ia saat Anda melakukannya dan ajak ia menyikat gigi bersama. Satu hal penting agar identifikasi berjalan mulus, beri contoh wajar, tak perlu dibuat-buat. Hindari perilaku kasar (semisal memukul anak) jika ia melanggar disiplin atau berkata tak sopan. Jangan lupa, ia mencontoh Anda karena Andalah model identifikasinya. Misalnya ia lupa sikat gigi pagi. Tak perlu menghukumnya. Cukup katakan, "Nggak apa-apa. Tapi nanti malam jangan lupa, ya."

TITIPAN KHUSUS
Jangan jadikan kesibukan bekerja sebagai alasan jika si kecil lebih memilih beridentifikasi dengan pengasuhnya atau orang lain yang dekat dengannya. Meski ayah-ibu bekerja penuh waktu, nilai-nilai baik tetap dapat ditanamkan. Caranya, "titipkan" lewat orang yang sehari-hari mengasuhnya, entah pembantu, babysitter, atau kakek-nenek.

Beri tahu mereka, kebiasaan-kebiasaan apa saja yang Anda tanamkan pada anak. Minta mereka untuk tak menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan itu selagi Anda tak di rumah. Katakan apa yang boleh dan tak boleh mereka lakukan terhadap si kecil, sesuai nilai-nilai yang ingin Anda tanamkan pada anak. Dengan demikian, meski Anda hanya punya sedikit waktu bersama anak, ia akan tetap mengacu pada Anda sebagai model identifikasinya. Bukan tak mungkin ia akan berkata pada pengasuhnya, "Mbak, kok, omongnya begitu, sih? Kan, Bunda sudah bilang, kita tidak boleh omong kasar." Atau, "Kata Ayah, kita enggak boleh, lo, mukul kucing. Kenapa Mbak mukul?" Nah, bila Anda mengabaikan "titipan-titipan" itu, jangan salahkan anak atau pengasuhnya jika ia "memilih" pengasuhnya sebagai model identifikasi. Atau, bisa juga orang lain yang di luar dugaan Anda, seperti tokoh-tokoh yang ia saksikan di layar kaca.

HATI-HATI TEVE
Tahu film seri anak-anak Power Ranger? Nah, Anda lihat sendiri, kan, banyak anak yang meniru-niru para jagoan di film itu. Nah, di sini Anda kembali harus hati-hati. Sebab, "Anak-anak yang intens 'berelasi' dengan TV, bisa menjadikan tokoh di TV sebagai model identifikasinya. Apalagi jika ia sering sekali melihat tokoh itu tampil di layar kaca," kata Rosa.
Selain itu, identifikasi juga tak bisa terlepas dari kemampuan imajinasi anak. Anak yang ingin jadi pahlawan seperti Batman, misalnya. Ia pun mengidentifikasikan diri dengan tokoh hero itu. Untuk kasus seperti ini, pesan Rosa, "Jelaskan, mana tokoh yang real dan tokoh dalam dongeng." Misalnya, katakan padanya, "Batman itu baik, tapi sayangnya ia tak hidup di dunia ini. Dengan demikian anak tahu, kalaupun ingin mencontoh, ia akan mengambil sifat-sifatnya saja yang baik, tanpa harus secara fisik melakukan apa yang dilakukan Batman," jelas lulusan S2 bidang konseling dari St. Clara University, USA ini.

JADI AGRESIF
Masih menurut Rosa, jarang sekali anak yang tak beridentifikasi dengan orangtua. Jikapun ada, berarti ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkannya. Misal, orangtua mengalami hambatan dalam perkembangan nilainya sendiri sebagai pribadi, sehingga mereka tak tahu bagaimana mentransfer nilai-nilai itu pada anak. Di sini terjadi hambatan komunikasi. Orangtua pun menjadi sangat pasif untuk membuat anaknya mencontoh dia. Bisa juga karena orangtua mengalami gangguan emosi atau gangguan relasi, sehingga perlu pertolongan ahli. Otomatis orangtua tak bisa menjadi model identifikasi anaknya.

Yang paling sering terjadi, orangtua tak kompeten sebagai model. Misal, kelewat sibuk sehingga perhatiannya, baik kualitas maupun kuantitas, terhadap anak sangat minim. Mereka begitu percaya, peran mereka dapat digantikan orang lain seperti pengasuh atau kakek-nenek.
Jika orangtua tak bisa diandalkan sebagai model identifikasi, maka harus dicari penggantinya. Sebab, anak sangat butuh model identifikasi. "Jika anak mempunyai model identifikasi, ia akan bahagia. Tapi jika tak ada orang yang bisa dijadikan model atau modelnya jelek, ia akan menjadi anak yang tak bahagia," kata Rosa. Yang disebut terakhir oleh Rosa, kelak akan cenderung menjadi anak yang mengalami gangguan konsep diri, anti sosial, agresif, dan lainnya. Nah, sudah siap, kan, menjadi model yang baik untuk si kecil?

Sumber: tabloid-nakita.com

Thursday 23 July 2009

Mengatasi Pertengkaran Anak

Wajar, kakak-adik bertengkar. Baru didamaikan, eh, sebentar kemudian sudah "ramai" lagi. Anda tak dapat menghindarkannya. Tapi, mengapa mereka bertengkar? Bagaimana mengatasinya? "Enggak boleh! Ini punyaku!" teriak si kakak sambil merebut kembali mobil-mobilan yang diambil adiknya. Tapi si adik tak mau kalah. Ia balik merebut mobil-mobilan itu. Jadilah mereka saling rebut sambil berteriak-teriak. Si kakak yang jengkel, akhirnya memukul sang adik. Menangislah ia.

Kali lain, si kakak yang bikin gara-gara. Adiknya yang sedang asyik bermain sendirian, tiba-tiba dijahili. Entah bonekanya diambil, ikat rambutnya dilepas, atau hanya sekadar diledek. Si adik yang merasa terusik, lantas marah, berteriak-teriak. Si kakak bukannya berhenti "menggoda" sang adik, malah makin senang. Ia baru berhenti setelah si adik menangis atau ibu "turun tangan".
Kejadian seperti itu mungkin sudah menjadi "santapan harian" para orang tua dari anak-anak balita. Entah si adik atau si kakak yang bikin gara-gara duluan. Tak jarang kita dibikin jengkel dan putus asa menghadapi anak-anak yang seolah tak berhenti bertengkar. Akibatnya, kala anak-anak bertengkar, kita biasanya akan langsung membentak, meminta mereka segera menghentikan pertengkaran, memarahi, dan bahkan menghukum.

BELAJAR MENGUNGKAPKAN EMOSI
"Tak usah panik kala anak-anak bertengkar. Bila kita panik, mereka justru akan merasa disalahkan terus, merasa bahwa berkelahi itu 'haram' di rumah. Karena biasanya orang tua yang panik lalu memarahi dan menghukum," kata Johanna Rosalina yang biasa dipanggil Rosa, dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta.
Lo, kok? Hal ini lantaran Rosa melihat pertengkaran antar-anak tak selalu berdampak negatif. Lewat pertengkaran, katanya, anak-anak belajar mengungkapkan emosi mereka. "Misalnya berdebat. Karena bertengkar, kan, enggak harus adu fisik. Nah, lewat berdebat, mereka belajar mengungkapkan pendapat dan emosinya," terang Rosa.

Perkelahian atau pertengkaran, menurutnya, adalah akibat. Karena itu yang harus disoroti bukanlah pertengkarannya tapi bagaimana setiap anak mengungkapkan emosinya. "Anak-anak yang tak berani bertengkar, mungkin tak berani mengungkapkan kemarahan atau kejengkelannya. Biasanya emosi mereka akan datar, tidak peka, kurang sensitif," kata Rosa.
Kendati demikian, tak berarti Rosa setuju bahwa setiap konflik harus selalu berkelanjutan dalam perkelahian. Apalagi jika mereka sampai adu fisik, itu harus dihindari. Karena, kalau kita membiasakan anak adu pendapat sampai akhirnya adu fisik, maka yang terjadi adalah mereka tak dapat mengontrol emosinya. Tapi, apa sebenarnya yang membuat anak-anak bertengkar?

SI KAKAK CARI PERHATIAN
Menurut Rosa, kehadiran adik umumnya dianggap sebagai saingan oleh sang kakak. Apalagi jika si kakak tak disiapkan betul untuk menyambut kedatangan sang adik sejak si adik masih di kandungan.
Harus dipahami, jelas Rosa, "Pada usia prasekolah, anak sedang berada dalam satu kondisi yang selalu bertentangan dengan lingkungan. Istilah psikologinya, negativism." Di sisi lain, ia pun sedang dalam masa selalu ingin menarik perhatian orang tua. Sehingga, jika ibu/ayah mengatakan, "Kamu harus sayang sama adik," si kakak mungkin akan mengatakan, "Ya." Tapi ia juga akan mengatakan, "Tidak," karena ia ingin menarik perhatian ibu/ayahnya. Jadi biasanya yang terjadi pada si kakak, "Saya akan melakukan apa yang saya suka." Maka, diganggulah si adik, semata untuk mendapatkan perhatian ibu/ayahnya.

Selain itu, si kakak pernah menjadi anak tunggal untuk beberapa waktu sebelum adiknya lahir. Ia belum mengerti bahwa kasih sayang dan perhatian ayah/ibunya kepada dirinya tak berubah, meski sekarang sudah ada adik. Yang ia lihat, ayah/ibunya sekarang sudah tak lagi sepenuhnya memperhatikan dirinya. Nah, apa yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan kembali perhatian tersebut? Ya, dengan cara mengganggu adiknya.
"Sebenarnya si kakak mengganggu itu bukan untuk menyakiti adiknya, tapi hanya untuk mengalihkan perhatian orang tua atau orang dewasa lain yang kebetulan atensinya sedang pada si adik," terang Rosa. Tapi jika caranya ini berhasil, maka lama-lama akan menjadi suatu kebiasaan. Sebaliknya, jika tak berhasil, misalnya ibu/ayah menjadi marah, maka si kakak akan berusaha menarik perhatian lagi. "Begitu seterusnya seperti lingkaran yang tak berkesudahan," tambahnya.

SI ADIK SUKA "MERUSAK"
Bagaimana dengan si adik? Harus disadari, si adik yang masih usia batita memang suka sekali "bikin masalah". Ia kerap menjatuhkan balok-balok kayu yang sudah disusun menjadi satu bangunan istana oleh kakaknya, menarik-narik tangan dan kaki boneka milik kakaknya hingga copot, atau bahkan merobek-robek buku "pelajaran" si kakak.

Hal ini lantaran si batita sedang berada dalam tahap eksplorasi. Ia tengah mempelajari dunianya, mengembangkan rasa ingin tahunya dengan terus-menerus mencobai lingkungannya. Ia pun belum mengerti sepenuhnya arti kepemilikan, sehingga seringkali ia "merusak" apa saja yang menarik perhatian, merebut apa saja yang sedang dipegang atau dimainkan oleh kakaknya. Tak heran jika akhirnya Anda harus menghadapi pertengkaran demi pertengkaran antara si kakak dan adiknya. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?

MEMBELA SI ADIK
Umumnya orang tua akan memihak dan melindungi anak yang lebih muda. "Kamu ini, kan, kakaknya. Mbok, mengalah. Adikmu masih kecil, belum mengerti apa-apa." Atau, "Jangan pukul adikmu! Dia, kan, masih kecil. Biarkan dia main dengan mobil-mobilanmu. Nanti kalau adikmu sudah selesai main, baru kamu boleh memainkannya."

Sikap orang tua yang demikian, menurut Rosa, tak bisa dilepaskan dari peran kultur/budaya. Bahwa anak sulung atau si kakak diharapkan menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Sebaliknya si adik, karena ia lebih kecil, maka ia dianggap lebih lemah. "Kepada si adik, biasanya ditanamkan ia harus menurut pada kakaknya. Tidak apa-apa kalau kamu enggak bisa bertanggungjawab karena kamu lebih kecil," kata Rosa.
Bagi si kakak yang harus menjadi contoh, menurut Rosa, akan berat sekali. Apalagi usianya masih balita. Ia akan merasa, kenapa saya yang selalu diharapkan sementara si adik tidak? Jika hal itu terus ditanamkan, Rosa khawatir, "Si kakak kelak akan berkembang menjadi anak yang selalu menyalahkan diri sendiri dan kurang percaya diri."

Sementara si adik, menurut Rosa, akan menjadi anak yang selalu tergantung dan kurang bertanggungjawab. "Ia akan mudah melepas tanggungjawabnya kepada orang lain. Ia pun menjadi kurang percaya diri dalam arti kalau dia mengambil keputusan dia akan tunggu Mama dulu tunggu kakak dulu. Padahal yang sebenarnya, setiap anak harus punya kapasitas untuk memutuskan persoalan sendiri," terang Sarjana Pendidikan dari IKIP Jakarta ini.

Begitu pun dengan sikap yang memandang anak lelaki harus mengalah dari anak perempuan karena anak lelaki lebih kuat sementara anak perempuan lebih lemah. "Padahal, kan, tidak selalu begitu. Adakalanya si anak lelaki tidak kuat, dan anak perempuan pun tidak selalu lemah," sambung Rosa. Akibatnya pada si anak prempuan, bukan tidak mungkin ia lantas jadi memanfaatkan saudaranya yang lelaki. Kalau ada apa-apa, ia akan mengatakan, "Kamu, kan, anak lelaki. Bantuin saya, dong." Dia akan selalu meminta perlindungan.

DUA-DUANYA DIBERI PENGERTIAN
Mendesak si kakak untuk mengalah, juga hanya akan membuatnya merasa yakin, bahwa Anda lebih menyayangi adiknya. Yang lebih buruk lagi,tanpa disadari, Anda melatih si kakak untuk bersikap pasif dengan selalu menurut dan mengalah pada adiknya. Ini tentu tak baik untuk perkembangan si kakak. Karena akhirnya nanti, ia bisa bersikap seperti itu pula pada setiap anak atau siapapun yang melaksanakan kehendak kepadanya. Sungguh celaka, bukan? Sementara si adik yang dibela, akan belajar bahwa ia boleh merebut apa saja yang dikehendakinya kala ia menginginkannya. Ingat, si adik yang masih kecil belum memiliki pemahaman akan perbedaan antara "milikku" dan "milikku" atau "miliknya". Ia akan lambat mempelajari konsep kepemilikan selama Anda membiarkan ia merebut mainan atau benda apa saja dari kakaknya.
Harus diingat pula, si kakak, yang meski sudah lebih besar dari si adik, tapi ia tetap masih seorang anak kecil. Ia tak mengerti bahwa adiknya belum punya pemahaman tentang konsep kepemilikan. Karena itu, meski si kakak lebih besar, ia pun perlu dilindungi dari agresi adiknya yang sewenang-wenang.

Jadi, bukan hanya si kakak yang harus diberi pengertian, tapi juga si adik. Kendati si adik usianya masih sangat belia semisal 1-2 tahun. Cara yang efektif, menurut Rosa, dengan menyampaikan "I message" atau "pesan aku". Misalnya, "Mama sedih karena kamu merobek-robek buku gambar kakakmu." Si kakak pun bisa diajarkan untuk mengungkapkan perasaannya kepada sang adik. "Kita jangan underestimate pada anak yang lebih muda. Dia mampu, kok, untuk mengambil tanggungjawab bahwa kakaknya itu kecewa, bahwa dia yang menjadi sumbernya," tutur Rosa.

JANGAN CARI SIAPA YANG SALAH
Rosa minta orang tua agar bersikap obyektif dalam menghadapi anak-anaknya yang bertengkar. "Orang tua memang harus merelai dan mendamaikan kedua anaknya yang bertengkar. Tapi bukan dengan bertindak sebagai hakim, yaitu mencari siapa yang salah. Nah, pengadilan kecil di rumah adalah bagaimana mengeluarkan pendapat tanpa emosi. Idealnya kita mendengarkan kedua belah pihak agar kita juga belajar memberikan keadilan pada anak-anak," terangnya.

Rosa menyadari, tak mudah untuk menjadi penengah yang adil dan bijaksana. Ini lantaran pengaruh subyektifitas orang tua. "Kalau sudah punya dua anak, biasanya si ayah punya anak favorit dan si ibu pun demikian. Misalnya si ibu favoritnya sama si sulung sementara si ayah pada si bungsu. Meski begitu, yang paling baik adalah ayah dan ibu tetap berimbang dalam memberikan peradilan pada kedua anaknya," tutur ibu dua anak ini.

Setelah kedua anak didamaikan, yang perlu dilakukan orang tua ialah mengajak mereka untuk saling minta maaf. "Biasanya ini enggak mudah. Karena kita sendiri tak mudah untuk minta maaf pada orang lain, pada anak. Apalagi untuk mengajarkan hal tersebut pada dua anak yang sedang mengalami kemarahan," katanya.
Tapi, toh, mereka tetap harus diajarkan. Karena lewat permintaan maaf, si kecil pun belajar bertanggungjawab. "Nah, kalau salah satu dari mereka bisa belajar untuk minta maaf duluan, entah si kakak atau adiknya, maka kita wajib memberinya penghargaan. Beri dia pujian," kata Rosa.

MAINAN/BARANG YANG SAMA
Hal lain yang bisa dilakukan orang tua ialah mencegah terjadinya pertengkaran, jika sumber penyebabnya sudah diketahui hal yang sama terus. Misalnya, selalu berebut mainan atau sesuatu barang. "Mungkin orang tua bisa membelikan masing-masing sebuah mainan atau barang yang sama. Jika harganya memang tak mahal atau orang tua memang punya uang, kenapa tidak?" kata Rosa.

Tapi dalam hal ini, sambungnya, orang tua harus bisa bersikap fleksibel. Karena dengan masing-masing memiliki satu mainan/barang yang sama, berarti kita tak mengajarkannya untuk berbagi. Sebaliknya, jika semua mainan/barang menjadi milik bersama, kita tak mengajarkannya untuk bertanggungjawab. Karena kalau mainan/barang itu rusak, masing-masing bisa mengelak, "Itu bukan punya saya, kok."

Jadi, tukas Rosa, "Orang tualah yang musti fleksibel. Kapan si anak harus berbagi dan kapan si anak harus punya privacy." Yang paling baik mungkin dengan menandai mainan/barang yang dibeli untuk setiap anak. Misalnya, warna merah dibubuhkan untuk menandai mainan/barang si kakak dan warna kuning untuk mainan/barang milik adik. Semua mainan/barang itu disimpan di kotak/keranjang yang juga ditandai dengan warna merah dan kuning.

Jika terjadi pertengkaran antara si kakak dan si adik tentang siapa yang akan bermain dengan mainan yang mana, Anda bisa cepat mengatasinya dengan menunjukkan warna yang menandai mainan mereka. Misalnya dengan mengatakan, "Ini merah, jadi ini milik kakak." Jika si adik ngotot, maka si kakak bisa diberi pengertian untuk belajar berbagi kepada sang adik tapi bukan memintanya untuk mengalah. Bila si kakak menolak, ingatlah Anda tak berhak memaksanya. Toh, dengan perjalanan waktu, baik si kakak maupun si adik akan memahami arti berbagi. Asal Anda tak bosan untuk terus mengajari mereka.

Sumber : tabloid-nakita.com

Si Kecil Mencuri?

Kaget, marah, dan malu. Itulah reaksi orang tua jika anaknya mencuri. Padahal, wajar-wajar saja anak usia 3-5 tahun mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Ya, memang begitulah kata para ahli. "Mencuri" pada anak balita hanya salah satu bentuk kenakalan anak. Hampir semua anak usia ini kadang mengambil sebuah mainan atau benda yang menarik baginya. Apa sebabnya? Seperti diterangkan Prof. Dr. Singgih Dirga Gunarsa dari Fakultas Psikologi UI, "Anak usia 3-5 tahun belum mengerti mengenai hak milik orang lain."

Bagi anak usia balita, segala sesuatu di dunia ini adalah miliknya sampai seseorang memberitahukannya. Dia belum punya pengertian tentang konsep kepemilikan. Juga belum menyadari, mendapatkan sesuatu dengan cara mengambil dari anak/orang lain berarti anak/orang lain itu kehilangan benda yang telah diambilnya. Dia pun belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang diinginkan tanpa izin si pemilik, berarti ia melanggar hak milik anak/orang lain dan akan merugikan anak/orang lain. Selain itu, "Anak usia ini juga belum mengerti tentang mana yang benar dan salah," ujar Singgih.

KEINGINAN MEMILIKI
Hal lain yang mendorong anak usia ini mengambil milik orang lain ialah keinginan untuk memiliki. "Anak yang terlalu banyak dibatasi macam-macam dan tak memperoleh sesuatu tapi ingin memiliki, akhirnya akan memaksa dirinya mengambil milik orang lain," terang Singgih.

Memang, seperti dituturkan Dra. Psi. Risatianti Kolopaking dari RSIA Hermina Bekasi, hubungan orang tua dan anak adalah faktor penting. Orang tua yang bersikap terlalu keras atau otoriter sehingga tak ada keterbukaan, contohnya, mengakibatkan anak tak bisa menyampaikan keinginan dan pendapatnya. Sayangnya, kata Risa, kebanyakan orang tua tak menyadari tindakannya. "Pokoknya, ini nggak boleh, itu nggak boleh. Orang tua merasa, apa yang mereka katakan adalah benar dan harus dituruti oleh anak. Padahal, seharusnya tidak begitu," tuturnya.

Orang tua yang bijaksana, bukan cuma melarang tapi harus menjelaskan mengapa dilarang. Dengan demikian anak jadi mengerti. Kuncinya, menurut Risa, "Orang tua harus memahami kebutuhan anak, sekaligus punya aturan yang disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Orang tua pun harus mau berkompromi dengan anak."
Aturan, tekan Risa, jelas harus ada. "Tapi tak bisa searah. Apalagi untuk anak yang sedang tumbuh. Harus dua arah dan dibuat berdasarkan kompromi antara anak dengan orang tua. Jadi, bukan bersikap otoriter." Dengan demikian orang tua akan tahu cara mengarahkan anak.
Si anak pun akan jadi lebih terbuka pada orang tua karena ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan keinginannya dan pendapatnya. Anak merasa dihargai sehingga ia pun dapat lebih memahami apa yang diinginkan oleh orang tuanya.

TERGANTUNG ORANG TUA
Keinginan untuk memiliki dan akhirnya membuat si anak mengambil barang orang lain, juga bisa dipicu oleh fasilitas yang tak memadai. Misalnya, anak ingin sekali punya mainan bagus tapi orang tuanya tak mampu. Akhirnya dia mengambil kepunyaan temannya.

Tentu saja, tak semua anak dari status sosial ekonomi lemah akan melakukan hal itu. Akhirnya, ya, tergantung orang tuanya juga. Jika orang tuanya mengajarkan mana yang boleh dan tak boleh dilakukan si anak, ia tak akan mencuri. Anak pun harus diberi penjelasan mengapa orang tuanya tak dapat memenuhi keinginannya, sehingga ia mengerti.

Sebaliknya, anak yang segala keinginannya dipenuhi, juga bisa mengambil milik orang lain. Ia yang sudah terbiasa dipenuhi segala keinginannya, pada suatu saat akan mengambil barang milik temannya jika keinginannya tak dikabulkan orang tuanya. Apalagi ditambah ketidaktahuannya akan hak milik.
Pada kasus ini, selain harus mengajarkan anak tentang hak milik, orang tua juga jangan selalu menuruti keinginan anak. Pertimbangkanlah selalu kegunaan maupun keamanan barang yang diinginkan anak. Kalau memang tidak bermanfaat atau bisa mencelakakan, ya, jangan diberikan meski ia sangat menginginkannya. Dengan demikian, anak belajar mengendalikan keinginan-keinginannya.

BUKAN PENCURI
Lantas, bagaimana sebaiknya tindakan orang tua kalau anaknya ketahuan mengambil milik orang lain? "Ya, nggak masalah!" tukas Singgih. Maksudnya, si kecil tak perlu dimarahi atau dihukum. Cukup diberi tahu, perbuatannya itu tak boleh dilakukan. "Jelaskan juga padanya, kenapa ia tak boleh melakukan hal itu," saran Risa pada kesempatan terpisah. Orang tua bisa mengatakan, "Temanmu pasti sedih karena kehilangan mainannya." Bantu si anak untuk bisa ikut merasakan kesedihan tersebut, "Kamu juga sedih, kan, kalau mainanmu diambil temanmu?"

Tak perlu menjelaskan pada anak bahwa perbuatannya itu disebut mencuri dan mencuri adalah perbuatan jahat atau tidak baik. Soalnya, anak akan berpikir, kalau begitu dirinya jahat, tidak baik. Jelas ini tak bagus efeknya untuk perkembangan kepribadian si anak. Apalagi bila orang tua sampai memberi label pencuri pada anak.

Lantaran itulah Singgih sangat tidak setuju bila kita menggunakan istilah mencuri terhadap perbuatan mengambil milik orang lain yang dilakukan anak usia 3-5 tahun. "Membedakan hak milik orang lain saja dia belum tahu, bagaimana bisa dibilang dia mencuri? Kalau dia mengambil sesuatu lalu kita memberikan label mencuri, itu terlalu cepat," terangnya. Makanya Singgih menegaskan, "Pada anak usia ini harus sudah ditanamkan pengertian akan nilai-nilai yang boleh dan tak boleh dilakukan, apa yang boleh dan tak boleh dimiliki."

HUKUMAN
Meminta si anak untuk mengembalikan barang atau mainan yang diambilnya, juga tak dianjurkan oleh Singgih. "Itu sama saja dengan hukuman!" tandasnya. "Kecuali kalau mengembalikannya di tempat tertentu yang gampang, tak masalah." Misalnya si kecil mengambil bolpen milik ayah tanpa izin. Katakan, "Bolpen ini bukan punya kamu, tapi punya Ayah. Kalau kamu ingin memakainya, harus bilang dulu sama Ayah. Nah, sekarang kembalikan bolpen itu di tempatnya semula."

Singgih mengakui, memang hukuman harus dilakukan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Tapi jika prinsip tersebut dilakukan pada anak usia 3-5 tahun, "Rasanya, kok, terlalu keras."

Repotnya, jika barang yang diambil si anak adalah kepunyaan orang lain seperti mainan temannya. "Boleh saja minta si anak mengembalikannya, tapi bukan sebagai hukuman, ya," tegas Singgih. Maksudnya, kitalah yang mengembalikan barang tersebut bersama si anak. Tentu setelah si anak dijelaskan, "Mainan ini bukan punya kamu. Jadi, jangan kamu ambil. Yuk, kita kembalikan." Dengan kata lain, "Pengembalian itu bertujuan mengenalkan kepada anak bahwa barang tersebut bukan miliknya dan ia tak boleh mengambilnya."
Langsung menuduh si anak dan menekannya untuk mengakui bahwa ia telah mengambil barang orang lain, menurut Risa juga tak baik dilakukan. "Asas praduga tak bersalah tetap harus diterapkan. Jika langsung menuduh, biarpun anak kecil tetap akan merasa sakit." Apalagi si anak, kan, belum mengerti bahwa perbuatannya itu salah.

Jika anak ditekan, ujar Risa, nanti ia malah jadi memberontak. Bukannya mengaku, malah ia akan terus mengelak. "'Mencuri' dan berbohong biasanya muncul beriringan pada anak. Anak yang 'mencuri' biasanya akan berbohong bila ia terus-menerus ditekan." Akibatnya, bisa jadi si anak akan terus melakukan perbuatannya mengambil tapi secara diam-diam. Bukan karena ia tahu perbuatannya tak dapat dibenarkan, tapi karena ia takut dimarahi orang tua. Apalagi jika orang tua sampai melakukan hukuman fisik.

Itulah mengapa Risa sependapat dengan Singgih bahwa orang tua tak perlu menggunakan cara keras dalam mengatasi perbuatan mengambil milik orang lain yang dilakukan anak usia ini. "Adalah tugas orang tua untuk memahami, mengawasi, dan memberi nilai-nilai pada anak. Kalau hanya sekadar marah, maka komunikasi nggak bakal jalan. Orang tua juga nggak tahu apakah anak memahami maksud mereka dan apakah anak bisa melakukan apa yang diinginkan orang tua."

MELIHAT & MENCONTOH
Tak jarang orang tua mengeluh, anaknya sudah diajarkan sopan-santun dan segala macam nilai-nilai tapi, kok, masih saja "mencuri". "Mungkin saja karena caranya orang tua yang salah, sehingga anaknya enggak paham," tukas Risa. Contohnya sikap orang tua yang otoriter tadi. Bisa juga karena si anak "belajar" dari orang tuanya. Ambil contoh seorang ibu yang punya kebiasaan mengambil uang dari dompet ayah bila memerlukan uang, entah untuk belanja sehari-hari atau keperluan lain. Atau si ayah suka mengambil barang milik ibu tanpa minta izin lagi setiap kali memerlukannya.

Keadaan ini mungkin umum dalam rumah tangga dan tak mengandung arti pencurian. Bahkan mungkin baik ibu maupun ayah sebetulnya sudah sepakat dalam hal itu, sehingga tak perlu lagi saling minta izin. Tapi anak yang melihat perbuatan itu berlangsung sehari-hari, tentunya akan berpikir, "Oh, kalau begitu aku juga boleh, dong." Akibatnya, ketika si anak menginginkan sesuatu, ia langsung mengambilnya tanpa minta izin lagi. Mulanya mungkin hanya mengambil milik ayah-ibu atau kakak-adiknya, tapi lama-lama bisa merembet ke milik orang lain di luar keluarganya. Celaka, kan?

Karena itulah kita harus hati-hati dalam berbuat. Maksudnya, kita harus selalu sadar diri bahwa ada si kecil yang akan mengawasi lalu meniru perbuatan kita. Ingatlah, si kecil belum kuat dasar-dasar pengertiannya akan hak milik pribadi dan orang lain. Tugas kitalah untuk menanamkannya, bukan hanya lewat omongan tapi juga dengan contoh-contoh nyata. Risa malah menegaskan, "Orang tua harus introspeksi diri jika ada tingkah laku yang salah pada anak dan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari." Jangan sampai si anak jadi bingung, "Katanya nggak boleh, tapi, kok, Ayah dan Ibu ngambil juga."

Tentunya butuh waktu lama untuk anak sampai pada pengertian bahwa "mencuri" adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan. Makanya orang tua jangan bosan-bosan untuk terus memberi tahu si anak dan mengingatkannya selama proses belajar tersebut. "Memang capek kelihatannya, tapi itulah yang paling tepat," kata Risa.

AJARKAN MEMINTA
"Para orang tua adalah suara hati anak-anak mereka sampai saat mereka dewasa," tulis Jerry Wyckoff, Ph.D. & Barbara C. Unell dalam bukunya yang dialih bahasa, Disiplin Tanpa Teriakan Atau Pukulan. Kedua ahli ini menyarankan, mintalah anak bicara pada orang tua jika ia menginginkan segala sesuatu. Tapi orang tua jangan cuma meminta si anak berbuat demikian, melainkan juga mengajari anak caranya meminta.

Jadi, orang tua harus membuat aturan tentang apa yang boleh dan tak boleh diambil dari tempat-tempat umum maupun rumah orang lain. Beri tahu anak tentang aturan main ini. Katakan, "Kamu harus selalu bertanya pada Ibu (Ayah) apakah kamu boleh memiliki sesuatu sebelum kamu mengambilnya." Karena si anak tak mengerti mengapa ia tak boleh mengambil barang-barang yang ia lihat ketika ia menginginkannya, maka orang tua harus memberi tahunya pula tentang perilaku yang benar dan salah. Katakan, "Kamu boleh meminta sebungkus permen karet dari Ibu. Jika Ibu mengatakan, ya, kamu boleh mengambilnya satu bungkus dan memegangnya sebelum Ibu membayarnya."

Bersikaplah konsisten. Jangan sampai hari ini orang tua melarang si anak mengambil sesuatu dari rak toko, tapi di hari lain malah membiarkannya. Hal ini hanya akan membuatnya bingung. Ajari pula anak membedakan antara meminjam dan mengambil tanpa izin, serta akibat dari masing-masing perbuatan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa si anak mengetahui apa yang orang tua maksudkan dengan, "Kamu tak boleh mengambil milik orang lain tanpa izin."

Jika si anak masih saja mengambil milik orang lain padahal sudah diberi tahu berulang kali dan orang tua pun telah menunjukkan konsistensinya, menurut Risa, bisa saja orang tua mengatakan, "Kalau kamu melakukan hal itu lagi, maka Mama nggak akan mengajak kamu ke toko lagi." Sebaliknya, jika si anak memahami aturan yang diterapkan, maka ia berhak mendapatkan reward. "Beri si anak hal-hal positif dan menyenangkan," anjur Risa. Misalnya, pujian atau membelikan sesuatu yang sudah lama diinginkan si anak, dan sebagainya.
Bagaimanapun yang namanya punishment dan reward tetap harus diberikan dalam proses belajar. Dengan demikian anak akan mengulangi perbuatan yang mendapatkan imbalan menyenangkan dan menghentikan perbuatan yang mendapatkan imbalan tak menyenangkan. Yang penting, imbalan tersebut (baik yang menyenangkan maupun tidak) digunakan demi kebaikan si anak. Bukan malah "mencelakakan"nya semisal hukuman fisik atau pemberian hadiah yang berlebihan.

Sumber : tabloid-nakita.com

Tips Aman Berteman

Monitor pergaulannya:
Untuk meyakinkan bahwa buah hati tercinta berada dalam lingkup pergaulan yang positif, jangan segan-segan untuk mengundang teman-teman sekelompok bermainnya. Pasti memang lebih repot, tapi dengan cara ini orangtua tahu benar siapa dan bagaimana teman-teman kelompok si anak.

Tunjukkan kepedulian
Terhadap Nita yang terkenal temperamental atau Wiwi yang gemar berpakaian minim, gunakan kesempatan ini untuk menunjukkan kepedulian Anda. Caranya? Lakukan hal yang sama dengan Anda yang lakukan pada anak sendiri dengan keramahan dan contoh perilaku positif.

Tanyakan langsung pendapat anak
Seperti telah disebut ada baiknya bila opini berupa koreksi tadi datang dari anak sendiri. Jadi, jangan lupa untuk minta pendapat anak tentang perilaku temannya yang Anda nilai kurang berkenan. Kemudian beri kesempatan sekaligus kepercayaan pada anak untuk mengatakan bagaimana seharusnya si teman bersikap. Lagi pula kebiasaan menanyakan pendapat anak akan menempa mereka kelak menjadi individu yang mampu bersikap objektif dalam menilai segala hal.

Berikan contoh yang konsisten
Jangan sampai orangtua melarang anaknya berteman dengan seseorang yang dianggap berperilaku negatif namun orangtua melakukan hal yang serupa. Contohnya, menilai si teman anak negatif dengan sifat temperamentalnya sementara dalam kesehariannya si ibu sendiri begitu gampang meledak-ledak pada siapa pun. Ingat, anak banyak belajar bukan dari petuah, melainkan dari perilaku yang ditunjukkan orangtuanya.

KAPAN TURUN TANGAN ?
Akan tetapi bukan berarti orangtua sama sekali tak bisa melakukan "intervensi". Pertemanan bisa dan perlu diakhiri bila si teman menimbulkan dampak negatif. Bukan saja kepada anak kita, tapi juga kepada lingkungan/orang lain, semisal terlibat narkoba, pemalakan, senang memukul dan sejenisnya. Bahkan tak cukup hanya sekadar melarang, melainkan juga harus menggalang kerja sama dengan guru atau orangtua si teman. Sepanjang kita tahu persis mengenai perilaku negatif si teman anak dan bukan hanya sebatas gosip, sebagai orangtua kita wajib meluruskan tindakannya dengan menghubungi orang-orang yang lebih berhak untuk menanganinya.

Sumber: tabloid-nakita.com

Thursday 16 July 2009

Cara Mengajarkan Membaca Kepada Anak Yang Menyenangkan

Mengajarkan anak membaca di usia dini bagaikan mengukir di atas batu, sementara mengajarkan mereka di usia remaja bagaikan mengukir di atas air.Mengajarkan anak membaca di usia balita memang susah-susah gampang. Apalagi jika mereka masih senang bermain-main lantaran mentalnya belum siap untuk menerima pelajaran yang tergolong ‘berat’.Sebenarnya, sambil bermain anak bisa diajarkan membaca. Caranya bisa bermacam-macam. Berikut ini ada beberapa tips kreatif mengajarkan membaca pada anak yang menarik dan menyenangkan antara lain:
1. Mengajak anak menghapal beberapa tulisan yang ada di sekitarnya dalam lembaran karton berwarna yang bercetak gambar plus tulisan yang cukup tebal, seperti gelas, buku, topi, baju, celana, dan lain sebagainya.

2. Jika anak masih belum mau belajar juga, cobalah cara lain yang lebih menyenangkan seperti halnya permainan.Contohnya bermain tebak kartu dengan mencocokkan kartu-kartu yang bergambar dengan kartu yang hanya berisikan tulisan. Misalnya kartu bergambar baju dengan kartu yang bertuliskan baju. Untuk memudahkan bisa diberi petunjuk dengan warna-warna yang sama.

3. Akan lebih baik dan menyenangkan bila Anda memiliki komputer di rumah.Dengan beberapa software yang tersedia di pasaran, Anda bisa mengajarkan anak membaca sekaligus bermain dan terampil dalam mengoperasikan komputer.Dalam software yang tersedia di beberapa toko buku besar, biasanya bukan hanya berisikan materi pelajaran semata namun juga sarat dengan aneka permainan edukatif yang merangsang anak untuk belajar membaca.Walaupun bisa dilakukan secara mandiri, di sini peran orang tua diperlukan.Niscaya dengan metode pembelajaran yang tepat, anak-anak sudah bisa membaca di usianya yang masih balita.

Rambut Sehat Anak

Tak perlu khawatir jika rambut anak tipis. Selama ia sehat, tak ada masalah. Apalagi pada bayi, yang tumbuh adalah rambut sementara, bukan rambut permanen.Banyak mitos yang masih dipercaya tentang perawatan rambut bayi dan anak. Misalnya, rambut digunduli agar nantinya tumbuh lebat. "Hal itu tidak benar. Memang, sehabis dicukur, rambut yang tumbuh akan terlihat tebal," ujar dr. Titi Lestari Sugito, Sp.KK dari Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM.

Menggunduli rambut bayi, kata Titi, sebetulnya hanya tradisi. Dari segi medis, tidak ada hubungannya mencukur rambut dengan rambut tebal. Rambut bayi sangat tergantung faktor genetik. "Kalau memang dari sononya jenis rambutnya tipis, mau dicukur berapa kali pun, keluarnya akan tetap tipis juga," kata Titi.

Selain tebal-tipis rambut, warna rambut pun sudah ditentukan secara genetik.Folikel (selubung akar rambut) terbentuk sejak anak berada dalam kandungan dan terus berkembang hingga lahir. Rambut bayi baru lahir adalah rambut sementara atau velus. "Rambut velus biasanya sangat halus dan lebih tipis dari rambut tetap," terang Titi. Rambut sementara ini akan rontok dengan sendirinya sebelum anak berusia setahun, kemudian berganti dengan rambut tetap (permanen).

Pada minggu pertama kelahiran, kadang bayi mengalami kebotakan. "Enggak apa-apa. Ini biasa terjadi di daerah yang biasa tertekan. Misalnya, karena terlalu lama tidur telentang atau karena gesekan dengan bantal." Tekanan dan gesekan akan memudahkan velus rontok, sehingga timbul kebotakan. Setelah setahun, velus biasanya rontok seluruhnya dan berganti rambut permanen.Jadi, rambut pada bayi dan anak adalah akumulasi dari faktor genetik ditambah faktor-faktor luar yang mempengaruhi. Faktor genetik tak sebatas ayah-ibu tapi juga bisa dari kakek-nenek.

FAKTOR LUAR
Selain faktor genetik, faktor gizi juga berperan. Anak kurang gizi, misalnya, tekstur rambutnya pasti akan terpengaruh. "Warna rambut jadi merah, lebih kering, lebih mudah patah, tipis, mudah rontok," jelas Titi.

Selain itu, dipengaruhi pula oleh hormon. Salah satunya hormon androgen. "Sering ada bayi yang rambutnya sangat lebat saat lahir. Bisa saja itu karena pengaruh hormon androgen ibunya. Soalnya, dia belum bisa memproduksi hormon androgen." Setelah lahir, lanjut Titi, lama-lama efek androgen yang terbawa dari ibunya hilang. "Rambut si kecil pun rontok, berganti dengan rambut aslinya yang mungkin lebih tipis.

"Faktor lingkungan juga sangat berperan. Banyak kena sinar matahari atau polusi, juga akan mempengaruhi tekstur rambut. Begitu pula penyakit, semisal seboroik (ketombe), yang sering terjadi pada bayi atau anak. "Ini juga ikut mempengaruhi.

"Setelah fase rambut tetap, faktor-faktor tadi bisa mempengaruhi tekstur rambut anak. "Pada rambut, sifat aslinya ditentukan oleh gen, tetapi dipengaruhi faktor luar pula." Jangan lupa, perawatan juga ikut mempengaruhi tekstur rambut.Meski rambut anak sudah permanen, menurut Titi, orangtua tak usah bingung bila menjumpai rambut rontok.

"Itu lumrah. Siklus kehidupan rambut memang begitu," ujarnya. Kerontokan masih dianggap normal asalkan tak lebih dari 100 helai per harinya, sementara kecepatan tumbuh rambut sekitar 0,3 mm per hari.Yang jelas, selama anak sehat, pertumbuhan rambut akan sesuai dengan faktor genetik. "Cuma, faktor-faktor lain di luar faktor genetik juga bisa mempengaruhi tekstur rambut."

SOAL SELEDRI & KEMIRI

Meski sebagian besar mitos tentang rambut tak bisa dijelaskan secara medis, ada beberapa di antaranya yang masuk di akal. Misalnya, agar rambut tebal, harus diolesi minyak kemiri. Ada juga yang menyarankan pemakaian seledri atau air kelapa muda.Menurut Titi, secara empiris atau berdasar pengalaman, mungkin mitos tadi ada benarnya. "Kemiri, kan, mengandung minyak. Nah, minyak bisa digunakan untuk mengatasi rambut yang kering atau kurang subur. Tapi dari segi farmakologis belum pernah diteliti, apa isi, kandungan, dan dampak kemiri.

"Yang jelas, lanjutnya, selama tidak menimbulkan efek samping, mencoba cara-cara tadi tentu boleh-boleh saja. "Cuma terkadang bahan alami seperti itu mengandung zat yang tak kita ketahui yang bisa mengiritasi kulit kepala bayi. Padahal, kulit bayi lebih rentan dan mudah teriritasi oleh bahan-bahan dari luar. Ini yang harus hati-hati."

RAGAM GANGGUAN
Berikut sejumlah gangguan pada rambut anak.
1. Gangguan akibat infeks.
Misalnya infeksi jamur. Ini yang paling sering pada bayi dan anak, karena di kulit kepala banyak kelenjar lemak yang disukai jamur. Pengobatannya bisa dengan obat antijamur.

2. Kerak kepala atau seboroik.
Sering menyerang bayi, diduga akibat pengaruh hormon androgen dari ibunya, sehingga kelenjar lemak aktif. Kelenjar lemak kulit (sebum) keluar dari tempat yang sama dengan keluarnya rambut. Jika kelenjar lemak sangat aktif, akan mengeluarkan lemak lebih banyak. Nah, lemak inilah yang akan menimbulkan lapisan yang menumbuhkan kerak.Kerak kepala bersifat sementara. "Bila hormon androgen habis, kerak akan hilang dengan sendirinya." Namun, karena seringkali kerak kepala disertai rasa gatal, tentu tak perlu menunggu sampai hormon habis. "Meski tidak membahayakan, kerak ini mengganggu kenyamanan dan dapat mengganggu pertumbuhan rambut secara sehat."Orang tua bisa menghilangkannya dengan semacam minyak dan bahan-bahan antiseboroik yang membantu mempercepat pengelupasan. Biarkan semalaman agar kerak menjadi lunak. Esok harinya, cuci rambut dengan air hangat hingga bersih.

3. Infeksi bakteri.
Misalnya terjadi bisul-bisul di kepala. Untuk mengatasinya, bisa diberi antibiotik. Kalau hanya di kulit, memang tidak membahayakan. Dengan menjaga kebersihan, akan hilang dengan sendirinya. Kecuali jika imunitas dan gizi sang bayi buruk, infeksi bisa meluas. Tapi ini jarang terjadi.

4. Penyakit genetik.
Beberapa penyakit genetik akan membuat rambut tidak bisa tumbuh lagi. Tapi hal ini biasanya disertai kelainan pada kelenjar keringat, sehingga anak tidak bisa mengeluarkan keringat. Bisa juga penyakit genetik akibat faktor autoimun. "Badannya menghasilkan antibodi terhadap akar rambut, sehingga rambut jadi rusak. Akibatnya, rambut tak bisa tumbuh. Penyakit genetik ini bisa membuat rambut rontok di seluruh kepala bahkan ada yang sampai alis dan bulu mata."

Jika ini yang terjadi, segera bawa ke dokter.

Berebut Mainan

Tanya
Ada yang mau aku tanyakan. Bagaimana ya mengajarkan anak umur 4 tahun untuk tidak rebutan mainan sama teman-temannya ? Sebenarnya anakku sudah mengerti soal berbagi. Dengan anak yang lebih kecil cenderung mengalah, pengertian pokoknya. Tapi kalau sama per groups, kadang suka rebutan juga. Tidak selalu terkadang suka dipicu oleh temannya yang tiba-tiba ingin main mainan yang dipegangnya. Akhirnya rebutan. Bagaimana ya caranya memberi pengertian sama mereka? Peraturannya seperti apa yang biasanya ibu-ibu terapkan ke anak-anak? Aku biasanya bilang kalau temanmu sedang main dengan mainan tertentu, kamu harus menunggu sampai temanmu selesai bermain atau tanya ke temanmu kalau bisa bermain bersama. Nah kadang dia situasinya terbalik, temannya yang tidak sabar menunggu. Jadi, apa yang sebaiknya pengertian yang aku kasih ke anakku itu kalau kebetulan ada temannya yang mau mainan yang dipegang anakku. Karena akhirnya rebutan lagi. Jadi bagaimana mengajarkan soal berbagi yang baik? Jangan-jangan selama ini pengertianku salah. Tapi di sisi lain berbagi itu tidak berarti harus terus mengalah. Ada tips tidak bu? Terima kasih

[DA]Jawab
Aku pernah diskusi dengan temanku tentang hal ini. Dia punya saran yang menurutku menarik juga. Mainan yang hanya satu itu bisa dimainkan secara bergantian. Beri batas waktu untuk tiap anak, misalnya hanya boleh pegang 5 menit terus berikan ke kita dulu baru kemudian kita berikan ke temannya. Begitu terus sampai semua kebagian. Cara ini harus disosialisasikan terlebih dahulu pada anak-anak yang terlibat. Dengan begitu diharapkan bisa mengurangi keributan. Kenapa tidak langsung diberikan ke temannya, karena kalau begitu, si pemegang mainan nanti tidak rela untuk berbagi. Tapi kalau diberikan ke kita dulu, dia akan merasa, Ok saya akan bermain lebih dulu. Memang tidak bisa sekali langsung manjur ya, harus dibiasakan juga. Jadi setiap kali bermain dengan anak kita aturan ini berlaku, sehingga lama-lama anak akan memahami artinya berbagi. Mudah-mudahan membantu ya. [Ann]Benar sekali, manjur di anak-anakku. Mereka jadi tahu berapa lama menunggu & berapa lama dia boleh main dengan benda itu. Ya, karena mereka masih kecil, masih belum ngeh juga 5 menit itu batasnya berapa, kita yang harus ingatkan. Tapi sedikit-sedikit mereka pada akhirnya mengerti, mungkin karena aku memang pakai patokan waktu itu untuk banyak proses negosiasi. Misalnya, ketika pulang sekolah anakku yang sulung tidak mau langsung makan, aku bilang oke, 5 menit lagi makannya (kadang dia nawar jadi 10 menit ;-)). Begitu juga kalau disuruh tidur siang, mandi, bereskan mainan, main sebelum tidur malam, dan lain-lain, pokoknya kalau dia tidak mau saat itu juga mengerjakan apa yang aku suruh, aku bilang 5 menit ya, sejauh ini dia setuju saja, alhamdulillah, jadi aku juga tidak stress [MM]Wah, sama mbak MM, aku juga sering pakai metode 5 menit ini kalau tawar menawar sama Pasha. Malah kadang dianya sendiri yang suka begitu ke aku. Misalnya, kita mau pergi, terus dia mau main ke rumah kakak iparku di sebelah, kalau aku bilang jangan, pasti dia bilang, 5 menit saja mah..padahal dia juga belum tahu 5 menit itu berapa lama. Tapi kalau soal berbagi mainan, aku malah tidak pernah pakai cara batas waktu seperti itu. Kalau buat anakku yang besar, lebih manjur diomongi baik-baik, soalnya dia gengsinya tinggi sekali, kalau terlalu diatur atau dipaksa malah tambah kekeh sama pendiriannya. Misalnya, kalau dia lagi pelit, tidak mau berbagi mainan, aku bilang, kalau sekarang kamu tidak mau pinjamkan mainan kamu, nanti lain kali kalau Sasi punya mainan baru, kamu tidak dipinjami juga lho... Nah, secara dia paling senang melihat mainan baru, khawatir juga bakal tidak dipinjamkan, jadi, biasanya pada akhirnya dia dengan sukarela meminjamkan mainannya [Rn]

Wednesday 15 July 2009

Memilih TK Yang Tepat

Hari-hari ini, kesibukan orangtua bertambah satu lagi: mencari dan memasukkan anak ke Taman Kanak-kanak alias TK. TK seperti apa, sih, yang bagus untuk anak?
"Anak saya sudah 4 tahun. Rencananya tahun ini mau saya sekolahkan. Tapi di mana, sih, TK yang bagus?" Bingung! Umumnya itu yang dialami para orangtua saat hendak menyekolahkan anaknya. Jangankan mereka yang belum berpengalaman. Yang sudah berpengalaman menyekolahkan anaknya pun, masih sering bingung, kok!

Tapi itu wajar, kok. Maklum, orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk soal pendidikan/sekolah. Apalagi menentukan si anak akan masuk TK mana. Soalnya, biasanya TK merupakan "sekolah" yang pertama bagi anak. "Kalau di TK saja anak sudah punya pengalaman jelek, bisa-bisa dia mogok sekolah selamanya," begitu alasan orangtua. Apalagi, jika anak tak memperoleh apa yang seharusnya ia terima selama di TK, orangtua cemas, anaknya mengalami kesulitan saat masuk Sekolah Dasar (SD).

BERMAIN SAMBIL BELAJAR
Jadi, TK macam apa yang harus dipilih? Pilihannya terlalu beragam. Masing-masing TK menawarkan fasilitas yang menggiurkan. Tentu saja dengan konsekuensi biaya yang lebih tinggi. Toh, orangtua cenderung melupakan soal biaya dan tetap mengejar kelengkapan fasilitas yang disediakan TK. Padahal, kelengkapan fasilitas bukan faktor yang paling menentukan. Program kegiatan belajar, materi pembelajaran, dan seperti apa guru-gurunya, seharusnya juga jadi bahan pertimbangan bagi orangtua.

Untuk metoda, menurut Laurentia Tridjaja yang sudah 23 tahun menjadi kepala TK, "Pilih yang lebih banyak menerapkan metode bermain sambil belajar ketimbang yang mengajar secara klasikal." Bermain, kata Laurentia, merupakan cara belajar yang paling efektif. Sebab, dunia anak adalah dunia bermain. Lewat bermain, anak bukan hanya bisa mengembangkan otot-ototnya, baik otot besar maupun otot halus seperti perkembangan motorik kasar dan halus, tapi juga bisa berfantasi dan mengekspresikan diri.

Lewat bermain pula, sambung Laurentia, anak juga bisa berkomunikasi satu dengan lainnya, bersosialisasi, dan kelak dapat bermasyarakat. "Jadi, bermainnya harus yang punya arti buat anak. Dia bisa mengembangkan imajinasinya, selain bisa melihat bagaimana, sih, dunia yang sesungguhnya. Dia bisa memahami keberadaan di lingkungannya bahwa ia tak sama dengan anak lain, bisa mengikuti peraturan, tata tertib dalam bermain, dan disiplin-disiplin yang diberikan," terang mantan Kepala TK Strada Tamansari, Jakarta Barat ini.

Keunggulan lain metoda bermain sambil belajar adalah seluruh aspek pancaindera anak dipakai dan dikembangkan dalam bermain. Bagaimana pengamatan dia, penciumannya, perabaannya, dan lainnya. "Jangan salah, lo, di TK juga ada pengajaran mengenalkan anak pada bermacam-macam bau sehingga ia bisa membedakan bau minyak kayu putih, jahe, dan lainnya. Jadi, di rumah, ia tahu soal bumbu dapur, misalnya," sambung Laurentia.

SAMBIL CERITA
Nah, semua itu, kata Laurentia, sesuai dengan tujuan pendidikan di TK. Yakni, membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, serta daya cipta yang diperlukan anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. "Jadi, orangtua jangan berharap bahwa di TK itu anaknya nanti diajari baca-tulis dan matematika seperti di SD. Tidak. Karena TK bukan SD mini. Yang kita lakukan adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan-pembiasaan dan peningkatan kemampuan dasar," terang mantan Kepala TK Strada St. John Berchmans, Jakarta Pusat ini.

Contoh pembiasaan, lanjutnya, antara lain moral Pancasila, agama, disiplin, perasaan atau emosi, dan kemampuan bermasyarakat. "Jadi, melalui pembiasaan ini, anak dievaluasi bagaimana emosinya, bagaimana dia bermain di dalam kelompoknya atau kemampuan bersosialisasinya," jelas Laurentia. Sementara melalui peningkatan kemampuan dasar, anak dikembangkan bidang bahasa dan daya pikirnya.

Karena itu, metoda pembelajarannya tak melulu secara klasikal di mana guru berdiri di depan kelas sambil menerangkan sesuatu. Sebaliknya, dilakukan dengan cara bercakap-cakap, bercerita dengan menggunakan macam-macam gambar besar, story reading, gambar seri, sandiwara boneka, dan sebagainya. Anak juga diberi tugas atau praktek langsung semisal menirukan suara binatang tertentu atau cara berjalan si binatang. "Atau tugas yang berfungsi mengembangkan daya cipta seperti melukis, melipat, menggunting, dan sebagainya," kata lulusan SPG-TK St. Maria Jakarta ini.

Meski semua itu dilakukan sambil bermain, tuturnya lebih lanjut, "Bukan asal bermain saja melainkan bermain yang kreatif dan menyenangkan anak. Juga dilengkapi alat peraga sehingga anak jadi lebih mempunyai minat dan lebih tertarik." Alat peraga, tuturnya, diperlukan karena anak usia TK belum mampu berpikir abstrak. "Kalau kita mengajarkan suatu benda, harus diperlihatkan bendanya," tukas Laurentia.

KONSEP RUANG
Masih menurut Laurentia, yang pertama-tama perlu dikembangkan pada anak prasekolah ialah konsep ruang. Misalnya, di dalam dan di luar. Itu pun ada alat peraganya, misalnya kotak dan bola. Guru memasukkan bola ke dalam kotak, lalu mengeluarkannya sambil memberikan penjelasan dengan bahasa yang dimengerti anak. "Konsep tata letak kiri dan kanan juga harus diajarkan. Ini bisa diajarkan dalam berbaris. Si A sekarang barisnya di depan siapa, lalu si B di belakangnya siapa. Si C di samping kirinya siapa, dan sebagainya. Dengan cara ini, anak, selain mengenal temannya lebih dekat, juga dia tahu letak posisi," papar Laurentia.

Konsep tata letak, lanjutnya, sangat berguna untuk anak belajar menulis nantinya. Sebab, dalam menulis, anak pun harus tahu tata letaknya. Misal, menulis huruf b, perutnya harus ada di sebelah kanan dari garisnya. Atau menulis angka 3. "Sering terjadi, anak tak tahu menulis angka 3. Ada yang menulisnya dalam posisi tidur, bahkan ada yang menulisnya ke kanan seperti huruf E," tambahnya.

Jadi, tandas Laurentia, meski pembelajarannya bukan bersifat kognisi yang mementingkan baca-tulis dan menghitung, tapi tetap berguna untuk perkembangan kognisi anak nantinya. Sebab, "Itu semua merupakan dasar untuk perkembangan selanjutnya," tandas Sarjana Pendidikan jurusan Psikologi Pendidikan & Bimbingan dari Universitas Atmajaya Jakarta ini. "Jika anak sudah paham betul letak posisi, saya rasa akan dapat menghindarkan dia dari menulis terbalik dan sebagainya. Tentu pengajarannya harus berulang-ulang, nggak bisa hanya sekali diajari terus anak langsung mengerti," katanya lagi.

Namun begitu, perlu pula diperhatikan orangtua, apakah TK tersebut juga melihat potensi perkembangan anak secara individual atau tidak. Misalnya, di kelas ada seorang anak yang tingkat kecerdasannya di atas rata-rata atau malah sebaliknya. "Untuk anak-anak seperti ini tentunya perlu penanganan khusus. Maksudnya, kita tak boleh menyamaratakan dengan teman-temannya yang lain, karena potensinya berbeda. Jadi, kita harus betul-betul melihat atas keunikan masing-masing anak dan itu harus dijalankan secara individual," terang Laurentia.

HARUS KERJASAMA
Oleh sebab itu, sambungnya, guru sangat berperan di TK. "Kalau gurunya tak kreatif, tak bisa menciptakan situasi belajar-mengajarkan yang menyenangkan, anak tak akan tertarik dan proses pembelajaran pun jadi tidak optimal," katanya. Kendati demikian, lanjutnya, "Kita tak bisa mengatakan, sekolah itu bagus karena guru-gurunya 'hebat'. Sebetulnya, yang membuat si guru 'hebat' adalah bagaimana dia bisa berkomunikasi dengan orangtua. Jadi, harus ada kerjasama antara guru dan orangtua."

Laurentia mengingatkan, anak berada di "sekolah" hanya beberapa jam. "Waktu yang paling lama adalah di rumah. Jadi, apa yang sudah diajarkan pihak TK, disiplin yang sudah diajarkan, tata tertib, pembiasaan yang baik, dilanjutkan di rumah," katanya. Baik juga bila pengasuh anak diajak kerjasama. Apalagi jika kedua orangtua bekerja dari pagi dan baru pulang sore atau malam, sehingga anak lebih banyak bersama pengasuhnya. "Pentingnya kerja sama ini bukan hanya sampai ke orangtua tapi juga pengasuh," tandasnya.

Pendek kata, tegas Laurentia, "Sebagus apa pun TK, jika tak ada kerjasama yang baik dengan orangtua, hasilnya tak akan optimal seperti yang kita harapkan. Kalau anak pintar tapi emosinya kurang baik, kan, tak seperti yang kita harapkan. Karena kita bukan hanya mengembangkan kognisi anak tapi juga bagaimana agar anak tahu aturan, berelasi dengan teman-temannya, bersosialisasi dengan baik, bisa mengekspresikan dirinya." Ia juga mengingatkan, orangtua tak bisa sepenuhnya mengandalkan sekolah. Sebab, sekolah sebenarnya hanya membantu orangtua dalam mendidik anak. "Tetap kita, sebagai ayah dan ibu, adalah pemeran utama dalam mendidik anak!" tegasnya.

Masalah Jarak Rumah Ke TK
Perjalanan yang jauh membuat anak lelah. Ini akan berpengaruh pada emosinya. Ia jadi mudah tersinggung dan marah, yang tentunya bisa berakibat buruk dalam hubungannya dengan teman-temannya. Ia pun tak bisa mengikuti program pembelajaran dengan optimal.
Selain itu, jarak yang terlalu jauh membuat jadwal harian anak harus berubah. Ia harus tidur lebih sore karena esoknya harus bangun pagi-pagi sekali. Waktu tidur siangnya juga berubah. Di "sekolah", ada kemungkinan ia akan mengantuk dan ini berarti akan mengganggunya dalam mengikuti berbagai kegiatan.

Belum lagi jika terjadi kemacetan di perjalanan, yang berarti jadwal hariannya kembali berubah. Orangtua perlu melengkapi anak dengan bekal makan siang, baju ganti, mainan, dan sebagainya. Pendeknya, orangtua tambah repot, anak pun semakin jauh dari rasa happy.

Sudah Siapkah Si Kecil
Faktor kesiapan anak cukup berpengaruh terhadap "keberhasilan"nya selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang ketergantungannya pada orang lain, terutama pada orangtua. Bila tidak, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di dalam kelas. Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja. Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung dengan teman-temannya sekelas.

Selain itu, tambah Laurentia Tridjaja, juga harus ada minat dari si anak sendiri untuk "sekolah". Nah, tugas orangtua untuk memotivasi anak agar tumbuh minatnya terhadap "sekolah". Antara lain dengan memberikan masukan positif tentang "sekolah". Misalnya, si kecil tertarik saat melihat gambar seorang pilot lalu mengatakan ingin jadi pilot. Orangtua bisa mengatakan, "Kalau kamu mau jadi pilot, kamu harus sekolah. Kalau di rumah saja, nggak bisa."

Kendati demikian, Laurentia mengingatkan, "TK sebetulnya bukan prasyarat untuk masuk SD. Jadi tak apa-apa kalau anak tidak dimasukkan ke TK." Hanya saja, memang ada bedanya antara anak yang masuk TK dan tidak. "Anak yang masuk TK biasanya sudah biasa ditanamkan sosialisasi yang baik. Keuntungan lain, dia jadi lebih bisa mengendalikan diri karena sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, tak terlalu egois lagi. Dia bisa belajar berbagi. Kemandiriannya juga terbantu," terangnya.

Namun begitu, kita sebenarnya juga tak perlu cemas jika karena sesuatu hal si kecil tak dapat masuk TK. Sebab, kata Laurentia, "Sebenarnya semua itu bisa diterima anak di rumah asalkan orangtua mau mengajarinya."

Sumber : tabloid-nakita.com

Mengapa Si Kecil Dijauhi Teman?

Apa yang dapat kita lakukan? Pertama-tama tentulah mencari sebab-musabab kenapa si kecil sampai dijauhi atau ditolak oleh teman-temannya. Selanjutnya upayakan hal-hal berikut:

Kembangkan Komunikasi Dua Arah
Beri kesempatan pada anak untuk menyatakan pendapatnya, mengungkapkan perasaan maupun keinginan-keinginannya. Jadi, anak merasa dihargai. Dengan demikian anak pun belajar menghargai orang lain.

Peka & Tanggap
Jadilah orang tua yang peka dan tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan anak. Anak-anak yang kurang perhatian cenderung membuat ulah untuk mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Hal ini lantaran orang tua umumnya lebih menaruh perhatian kala anak berbuat "nakal" ketimbang saat ia berbuat baik. Jadi, meski harus dimarahi, anak tak peduli. Yang penting ia dapat perhatian.

Beri Bimbingan
Jangan berpikir bahwa si kecil kelak akan sanggup "menguasai" sikap agresifnya setelah ia dewasa. Jika anak dibiarkan, ia tak akan mengasosiasikan perilaku agresifnya dengan penolakan teman yang dialaminya. Akibatnya, ia tak akan berusaha mengurangi agresifitasnya. Jadi, tegurlah ia sesegera mungkin dan beri tahu bagaimana ia seharusnya bertingkah laku.

Ajarkan Berbagi
Misalnya orang tua punya kue dan si anak sedang bermain dengan temannya, beri si kecil kue itu dan mintalah ia membaginya pada sang teman. Jangan orang tua hanya memberi pada si kecil, karena nanti ia akan berpikir, "Oh, kue itu cuma buat aku. Jadi, aku enggak perlu berbagi dengan teman." Begitu pula saat ia punya mainan baru, mintalah agar ia mengajak temannya bermain bersama.

Biarkan Anak Bergaul
Bagi orang tua yang terlalu melindungi, sebaiknya sedikit demi sedikit mulai melepaskan anak masuk ke lingkungan sosialnya. Biarkan ia bermain sama teman-temannya. Saat si anak bermain, orang tua tak usah ikut campur atau terlibat dalam permainan itu. Cukup memantaunya dari kejauhan. "Berilah kepercayaan pada anak untuk berkembang, bergaul dengan orang lain," ujar Evi.

Jangan Ajari Pilih Teman
Memang tak ada orang tua yang ingin anaknya "salah-gaul". Tapi menentukan mana teman yang layak dan tidak untuk si anak, bukan tindakan bijaksana. Justru dengan si kecil mengenal berbagai karakter orang, wawasan anak akan menjadi kaya. Yang perlu dilakukan orang tua ialah mengajari anak bagaimana bersikap terhadap masing-masing karakter. Ini akan membantunya dalam beradaptasi.

Bantu Si Pemalu
Ajari anak keterampilan-keterampilan yang ia perlukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, bagaimana menyapa teman, memulai suatu pembicaraan, mengajak teman bermain, cara meminta bantuan, melatih berbagi, dan sebagainya. Sering-seringlah mengajak si pemalu masuk ke lingkungan baru, membawanya kala orang tua berkunjung ke rumah teman/relasi, mengajaknya menginap di rumah kerabat yang memiliki anak sebayanya, dan sebagainya.

Libatkan Teman
Mengundang si teman main ke rumah bisa membantu anak yang pemalu. Karena biasanya anak pemalu dijauhi bukan karena sang teman tak menyukainya, tapi karena sifat pemalu si anak menghambat sang teman untuk berinteraksi dengannya. Bisa pula orang tua "memanfaatkan" si teman untuk menanyainya, mengapa ia (juga teman lainnya) tak mau bermain dengan si anak. Orang tua pun jadi tahu, apa persepsi mereka terhadap anaknya. Ini akan membantu orang tua dalam upayanya mendorong si anak untuk memiliki penyesuaian sosial yang baik.

Tumbuhkan Motivasi
Dukung anak agar anak termotivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial yang baik. Misalnya dengan mengajari si anak sayang pada hewan piaraan, memberikan buku-buku cerita tentang arti pertemanan, seperti kisah pertemanan kancil dan kerbau, dan sebagainya.

Beri Reward & Punishment
Ketika anak melakukan suatu tingkah laku sosial ke temannya, berilah pujian. "Nah, begitu, dong. Bagus." Sebaliknya kalau ia bertingkah laku yang tak baik seperti memukul, pelit, meledek, dan sebagainya, tegurlah sesegera mungkin. Dengan begitu si anak jadi tahu mana tingkah laku yang diterima dan mana yang ditolak. "Reward dan punishment akan membantu si anak mengembangkan perilaku yang baik agar ia bisa diterima lingkungannya," tutur Evi.

Kerja Sama Dengan Guru
Guru bisa dimintai bantuan untuk mengajari anak berperilaku sosial yang baik. Misalnya, dengan melakukan permainan kelompok. Bisa juga dengan meminta tolong si anak mengambilkan/membawakan sesuatu yang diperlukan guru, dan sesudahnya guru memberi reward. Misalnya, "Terimakasih. Ibu guru senang sekali kamu mau membantu."
Jadi Model

Ingat, lo, anak belajar dari peniruan. Jangan sampai si kecil dijauhi teman-temannya gara-gara orang tuanya tak pernah menunjukkan bagaimana bertingkah laku sosial yang baik. Kita juga yang malu, kan!

Sumber : tabloid-nakita.com

Cara Bijak Memberikan Hukuman dan Hadiah

Mendidik dengan memberikan hukuman secara fisik karena anak telah melakukan suatu kesalahan dan memberikan hadiah berupa uang atau makanan karena anak telah melakukan suatu tindakan positif adalah tindakan yang kurang bijaksana. Hukuman fisik dianggap tidak efektif sebagai cara untuk mendidik anak karena dengan cara seperti itu sebenarnya anak tidak memahami di mana letak kesalahannya tersebut.

Anak tidak melakukan lagi kesalahannya tersebut boleh jadi bukan karena ia memahami bahwa tindakannya tersebut adalah tidak baik tetapi ia tidak melakukan kesalahan tersebut karena ia takut akan mendapatkan hukuman lagi yang mungkin lebih berat. Maksudnya, anak mungkin tidak melakukan kesalahan tersebut ketika pengawas (orangtua) ada di sekitarnya, tetapi ketika pengawasnya tidak ada di dekatnya maka ia mungkin akan mengulangi kesalahannya tersebut, misalnya memukul lagi adiknya.

Begitu juga dengan memberikan hadiah berupa uang atau benda lainnya kepada anak. Ketika anak melakukan suatu perbuatan yang positif, maka lebih baik anak diberikan pujian. Dengan demikian anak akan merasa bangga pada kemampuan dirinya, bukan karena ingin mendapatkan kesenangan belaka (mendapatkan uang atau permen)

Kesimpulannya adalah berikanlah hukuman dan hadiah kepada anak sesuai dengan perilaku yang ditunjukkan anak. Hukuman yang paling efektif ketika anak melakukan tindakan negatif adalah dengan memperlihatkan ketidaksetujuan atau penolakan supaya ia merasa malu, sedangkan hadiah yang paling baik atas tindakan positif anak adalah memberikan pujian kepadanya. Pujian yang diberikan orangtua akan membuat anak bangga (Wiwien Dinar Pratisi, 2008).

Contoh kasus menolak atau memperlihatkan ketidaksetujuan kepada anak yang melakukan tindakan negatif (memukul adik). Orangtua dapat mengatakan kepadanya . bahwa orangtua tidak suka kepada anak yang mudah memukul orang lain, karena itu akan menyakitkan seperti halnya ia akan measa sakit ketika dipukul orang lain. Dengan demikian anak akan menjadi malu dan memahami bahwa memukul adalah tindakan yang tidak baik, semua orang termasuk dirinya akan merasakan sakit yang sama ketika dipukul.

Berikanlah hadiah atas tindakan positif anak berupa pujian, karena dengan pujian yang diberikan orangtua akan membuatnya merasa bangga atas kemampuan yang telah ia lakukan tersebut. Misalnya, memuji anak ketika ia sedang membereskan kamar tidurnya ‘ Waaah, Ade sudah besar dan pintar ya sudah bisa merapikan dan membersihkan kamarnya sendiri. Kamar Ade selalu rapi dan bersih, jadi Ade jauh dari debu dan kuman, tidak mudah sakit…..

Sumber : perkembangananak.com

Tuesday 14 July 2009

Belajar Tak Berpamrih

Tidak selamanya kerja keras anak harus dihargai dengan materi. Kalau mau sukses, "You have to serve someone," demikian diungkapkan pakar pendidikan Gary North. Dengan kata lain, siapa yang melakukan kebajikan dengan ikhlas, dia jugalah yang akan merasakan manfaatnya di kemudian hari.

Perkara sikap luhur itu akan berbalas menjadi urusan nomor dua. Sayangnya, mengajarkan hal ini kepada anak bukanlah hal mudah. Menurut Tri Novida, Psi., itu terjadi lantaran orangtua terbiasa mengupah anak saat melakukan sesuatu. Saat hendak menyuruh membeli telur ke warung terdekat, misal, orangtua tak pernah lupa menitipkan uang. "Kembaliannya buat Kakak ya." Atau ketika disuruh mengantarkan barang ke tetangga, orangtua tak pernah absen menitipkan "uang perangko".

Selain itu, lingkungan pun ikut berpengaruh. Mungkin saja orangtua tak membiasakan memberi upah, tapi karena melihat teman, saudara, atau anak lain terbiasa diberi uang seusai melakukan perintah, maka anak pun ikut-ikutan. Saat orangtua menitip uang untuk membeli terigu, anak pun segera berujar, "Ongkosnya mana?"

MAGNET BAGI TEMAN
Terbiasa menjadi "pekerja upahan", menurut Tri, dapat berdampak negatif. Pertama, anak menganggap materi sebagai bayaran pantas untuk setiap usahanya. Padahal, tak selamanya orangtua memiliki uang lebih untuk membayar. Repot kan, jika setiap disuruh beli sesuatu di warung, anak terus meminta upah. Lebih repot lagi jika anak mendadak mogok bekerja karena orangtua enggan memberikan upah. Padahal, sudah menjadi kewajiban anak untuk melaksanakan permintaan orangtua.

Kedua, nantinya anak terbiasa melihat sesuatu dari "untung-rugi" yang didasarkan dari materi. Jika saya berteman dengan si A, saya dapat apa. Jika saya membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, saya akan mendapat apa. Jika dia hanya melihat "pepesan kosong" maka dia akan berpikir ulang untuk melakukannya. Sikap ini jelas sangat kurang baik bagi pergaulan sosialnya. Ingat, dalam sehari-hari, anak harus terbiasa memberi dan melayani orang lain tanpa pamrih. Itulah yang menjadi magnet teman-teman mendekatinya. Jika dia terus-menerus melihat sesuatu dari untung rugi, bukan tak mungkin jika teman-temannya akan menjauhi.

Ketiga, karena terbiasa mendapat bayaran, anak jadi miskin empati. Ini karena empati membutuhkan pengorbanan. Tidak hanya waktu dan tenaga, tapi juga materi yang dimiliki. Bagaimana mau berkorban, jika mau diminta pertolongan saja harus dibayar?

Keempat, anak sulit berbagi dengan orang lain. Egonya terus membumbung tinggi. Kepentingannyalah yang harus dinomorsatukan, sedangkan kepentingan orang lain bisa diabaikan. Kesulitan berbagi, membuat anak 6-9 tahun sulit mendapat teman. Sedangkan pada anak 9-12 tahun, bukan tak mungkin jika dia sulit diterima dalam kelompoknya.

CUKUP PUJIAN
Jadi, haruskah orangtua menghentikan kebiasaan memberi upah? "Tidak juga," kata Tri. "Sesekali orangtua dibenarkan memberi upah." Sikap itu justru mengajarkan prinsip bekerja. Hasil jerih payah orang lain itu harus dihargai. Membeli sesuatu di warung, mengantarkan surat ke tetangga, juga memijati seluruh badan ayah membutuhkan tenaga dan waktu. Semua itu harus dihargai. Meski demikian, saat memberi upah, orangtua sebaiknya memberikan penjelasan, "Ibu menghargai usahamu yang sudah keliling ke tiga warung untuk membeli sayuran ini. Sebagai imbalannya, Ibu akan memberimu seribu rupiah." Agar tak ketagihan, cobalah katakan, "Eh, ini ada uang kembaliannya lima ratus rupiah, buatmu saja ya. Tapi, tidak setiap Ibu suruh kamu pasti mendapat uang, ya."

Kenalkan juga, tidak semua hasil jerih payahnya harus dihargai dengan materi, entah berupa uang atau barang. "Pujian atau ucapan terima kasih pun sebenarnya sudah cukup." Orangtua jangan segan untuk mengucapkannya. Juga jangan sampai merasa berdosa jika lupa memberikan uang seusai menyuruh anak. "Justru harus dikenalkan agar anak belajar melakukan sesuatu tanpa pamrih." Dengan demikian, anak belajar segala usahanya tidak selalu harus dibayar uang. Toh, membuat orangtua senang sudah membuatnya bangga.

Hal lain yang perlu diingat, sebaiknya menghindari memberi uang, barang, atau pujian berlebihan saat anak mengerjakan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya. Membereskan kamar, merapikan buku, mencuci piring makannya sendiri, dan rutinitas lain adalah kewajibannya sendiri yang harus dilakukan. "Jika di awal-awal, mungkin tak masalah orangtua memberi pujian sebagai pembangkit motivasi, tapi tidak baik jika dilakukan terus-menerus."

Alangkah lebih baik jika orangtua menumbuhkan motivasi dari dalam diri anak, manfaat apa sajakah yang akan didapat jika dia berhasil melakukan rutinitasnya sehari-hari dengan baik. Kamar yang rapi membuatnya lebih nyaman beristirahat dan belajar. Buku yang tertata memudahkannya dalam pencarian, dan lain-lain.

Juga, sekali-kali jangan mengancam anak jika tidak menuruti perintah orangtua. "Awas, kalau tidak mau disuruh menyiram tanaman, Ibu jewer!" Ancaman akan membuat anak semakin ogah menuruti perintah orangtua. Pun tidak membuat motivasi dalam dirinya tumbuh. Alangkah lebih baik jika orangtua berkata, "Hari ini Ibu capek sekali. Ibu berterima kasih jika kamu bersedia menyiram tanaman di depan rumah, tanaman itu akan tumbuh dengan baik, pemandangan rumah kita pun menjadi indah." Anak tahu, menyiram tanaman bukan menjadi tugasnya, tetapi untuk menyenangkan hati ibu, dia mau melakukannya. Lagi pula, dia senang tinggal di rumah yang indah dan asri. Disamping orangtua juga harus memerhatikan etika meminta tolong seperti mengucapkan, "Tolong". Pun melihat situasi dan kondisi, semisal, apakah anak terlihat sedang sibuk, mengerjakan pekerjaan rumah, sedang tidak mood, asyik bermain, dan lain-lain. Ingat, anak juga memiliki hak untuk bermain tanpa diganggu.

BEKERJA TANPA PAMRIH
Nah, bagaimana mengajari anak bekerja tanpa pamrih? Mudah saja, ungkap Tri, lewat cerita, anak dapat dikenalkan tentang nilai luhur tadi. Orangtua bisa menceritakan kisah "Johnny the Apple Seed". Sebuah kisah tentang seorang anak bernama Johnny yang senang berkelana. Ia selalu mengantongi segenggam biji apel di kantongnya. Ke mana pun dia pergi, dia selalu menebarkan biji apel tersebut, sehingga dia terkenal sebagai Johnny the Apple Seed. Dia tak berpikir, apakah benih yang ditebarkannya akan tumbuh. Dia juga tak berniat menikmati buahnya, atau berteduh di bawahnya. Sikap Johnny itulah yang menumbuhkan ribuan pohon apel yang dinikmati anak saat ini. Anak 9-12 tahun, juga bisa dibelikan buku-buku tentang biografi seseorang yang penuh pengorbanan. Buatlah diskusi hangat tentang buku yang baru dibacanya itu. Lewat pendekatan agama juga bisa. Setiap agama sangat menjunjung nilai-nilai luhur kebaikan.

Orangtua bisa mengajarkan sikap berbuat baik kepada anak. Tuhanlah yang akan membalas setiap kebaikan. Bisa juga dengan menceritakan tokoh yang penuh pengorbanan seperti Bunda Teresa. Pendekatan spiritual ini sangat bermakna buat anak. Setiap sesuatu yang dilakukannya, mungkin saja tak dihargai atau dilihat manusia, tapi niscaya semua itu akan dilihat dan dibalas oleh Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua juga bisa mempraktikkan, bagaimana bekerja tanpa pamrih. Saat melihat mobil orang lain mogok, orangtua bisa mengajak anak membantu mendorong mobil itu. Atau, saat saudara mengalami musibah banjir, orangtua bersama anak bisa bersama-sama membantu membersihkan rumah saudara yang kotor tersebut. Biarlah anak mendapat rewards langsung dari orang yang ditolong, sehingga membuat motivasinya untuk berbuat baik semakin meningkat.

Menyisihkan sebagian uang jajan atau pakaian yang tak terpakai, lalu diberikan kepada anak lain yang tidak mampu, juga akan menumbuhkan pengorbanan. Anak belajar, tidak hanya waktu dan tenaga saja yang harus rela dikorbankan, tapi juga materi yang dimiliki. Terakhir, teladan menjadi hal terdepan agar anak mau mencontoh. Orangtua bisa menjadi contoh bekerja tanpa pamrih, membantu orang tanpa mengharap imbalan, dan ringan tangan saat orang lain mengharapkan bantuan.

JANGAN JADI ROBOT
Senang menolong orang lain bukan berarti anak dibiarkan diperbudak. Karena itu, saran Tri Novida, ajari anak bahwa dia dapat menolong orang lain sesuai dengan kemampuannya. Jika dia merasa tak bisa atau terpaksa ditunda, katakan dengan sopan, dia tak bisa melakukannya. Seperti, "Maaf ya, saya tidak bisa membantumu menyelesaikan tugas sekolah karena sibuk membantu ibu di dapur." Atau, "Ma, Kakak sedang asyik menonton teve, nanti sepuluh menit lagi ya, Kakak belikan pesanan Mama."

Ajarkan juga sikap asertif kepada anak, dia dapat menolong orang lain dengan syarat kepentingannya tak terganggu. Jangan sampai dia diperbudak teman-temannya, disuruh ini dan itu mau saja, tanpa bisa menolak. Persis seperti robot. Ingat, dia memiliki hak untuk menolak.
Anak juga harus dikenalkan, dia memiliki otoritas pada miliknya sendiri. Dia memiliki hak untuk berbagi miliknya atau tidak dengan orang lain. Itu dilakukan dengan berbagai alasan. Mainan favorit, misal, mungkin saja dia tidak mau berbagi dengan orang lain. Atau dia sebenarnya mau berbagi, tapi karena orang yang hendak diajak berbagi ceroboh, maka dia segan untuk berbagi. "Bonekaku yang kemarin saja dirusaknya, bagaimana aku mau tega membagi mainan bergambar ini," begitu gumam anak. Jadi, tak mau berbagi tidak selalu identik dengan pelit.

Sumber : tabloid-nakita.com

Benarkah Anak Bisa Depresi?

Orang dewasa depresi sudah biasa, tetapi benarkah anak pun bisa mengalaminya? Gangguan depresi pada anak sebelumnya tidak terlalu dikenali, dan biasanya dianggap sebagai gangguan mood yang normal pada fase perkembangan. Keraguan ini disebabkan karena anak dan remaja dianggap belum matang secara psikologis dan kognitif.

Sebagai gambaran, di Amerika angka kejadian depresi menunjukkan 1% pada anak prasekolah, 2% pada anak usia sekolah dan sekitar 5-8% pada remaja. Sementara survei di Australia memperlihatkan; 3,7% anak laki-laki dan 2,1% anak perempuan dalam rentang usia 6-12 tahun mengalami episode depresi. Uniknya, terdapat perbedaan antara ratio anak laki-laki dan perempuan. 2:1 antara perempuan dan laki-laki.

Tanda-tanda depresi
Keluhan fisik seperti sakit kepala, sakit sendi dan otot, sakit perut, dan rasa lelah.
Sering bolos sekolah atau sikapnya di sekolah tidak baik.
Adanya maksud dan usaha untuk lari dari rumah
Berteriak tanpa kejelasan, sering menangis atau mengeluh terhadap segala sesuatu.
Merasa cepat bosan.
Tidak ada minat untuk bermain dengan teman-temannya.
Penggunaan zat atau alkohol.
Tidak mau berkomunikasi dan berteman lagi.
Takut akan kematian.
Sangat sensitif terhadap penolakan dan kegagalan.
Sering menunjukkan rasa marah, bermusuhan, dan sikap yang mudah tersinggung.
Perilaku yang membahayakan dan ceroboh.
Kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman atau orang lain.
Konsentrasi yang buruk yang dapat berhubungan dengan nilai sekolahnya.

Diduga ada kaitan antara depresi dengan adanya gangguan kesehatan lain:
infeksi virus
anemia
hipotiroid atau hipertiroid
epilepsi

Namun penyebab yang pasti dari depresi itu masih belum dapat dipastikan. Diduga kombinasi dari kerentanan genetik (biologi), pengalaman perkembangan yang kurang optimal secara psikologi dan terpapar pada stresor sosial. Sebilan puluh persen gejala depresi pada anak dan remaja didahului oleh adanya pemicu.

Faktor risiko yang dapat memicu munculnya depresi:
adanya riwayat depresi pada keluarga
episode depresi sebelumnya
konflik keluarga
kelemahan dalam bidang akademik
gangguan cemas atau penyalahgunaan zat

Kapan perlu terapi?
Jika terdapat distress dan disfungsi pada fungsi pribadi dan sosialnya atau kehidupan akademis.

Jenis terapi
psikoterapi
psikofarmakoterapi
kombinasi keduanya

Psikoterapi
Terapi bagi depresi disebut dengan cognitive behavioral therapy (CBT), yang berpedoman bahwa antara pikiran, perasaan, dan perilaku saling berhubungan satu sama lain. Mengajak anak untuk berpikiran positif, mengurangi kehidupan sosialnya, edukasi kepada anak dan keluarganya.

Sumber: anakku.net

Memanfaatkan Mal Sebagai Sarana Belajar Anak

Tanpa disadari, mal saat ini bukan lagi sekadar tempat berbelanja, tempat cuci mata, atau sekadar hang out bagi keluarga. Hampir setiap minggu, banyak keluarga yang menghabiskan waktu di mal. Keperluannya bisa bermacam-macam, mulai dari berbelanja atau sekadar cuci mata dan menghadiri pameran yang sedang berlangsung di salah satu bagian mal.
Beberapa tempat di mal, sebetulnya bukan hanya pantas dijadikan tempat cuci mata, bahkan jika jeli ada saja tempat yang bisa dijadikan media belajar yang baik bagi anak-anak. Suasananya yang menyenangkan tentu membuat anak-anak merasa tidak terbebani saat belajar di mal.

Berikut ini ada beberapa cara untuk memanfaatkan mal sebagai media untuk belajar anak:
Acara berbelanja yang selama ini menjadi monopoli ibu-ibu bisa dijadikan media bagi anak untuk mempelajari bagaimana cara mengenal produk yang baik (cara memilih ikan atau daging segar), cara mengatur uang jajan dengan memberikan mereka sejumlah uang dan membiarkannya mengatur barang apa yang ingin dibeli, atau bahkan berhitung dengan barang belanjaan yang dibeli (ini tentunya berkaitan dengan pelajaran matematika).

Berkunjung ke toko buku juga merupakan salah satu bentuk wisata edukatif yang harus ditanamkan pada anak sedari kecil. Tanamkan kecintaan membaca pada anak sedari dini. Karena ilmu bukan hanya bisa didapat dari buku pelajaran atau textbook, namun juga dari buku-buku lainnya. Bahkan bukan tidak mungkin ada hal yang bisa dipelajari anak dari buku komik favoritnya. Jadi biarkan mereka memilih sendiri buku yang diminati.

Selain toko buku, anak juga bisa belajar berkompetisi dan ketangkasan di arena permainan yang banyak terdapat di mal. Ingat, kecerdasan bukan diukur dari IQ semata loh. Anda juga harus memperhatikan EQ-nya. Ada banyak hal lain yang bisa dipelajari anak secara menyenangkan. Dijamin, metode pembelajaran dengan menggunakan mal sebagai salah satu sarananya pasti akan menyenangkan anak. Asyik kan, bermain dan jalan-jalan sore di mal sambil belajar.

Sumber: kompas.com

PG/ TK ISLAM SMART BEE - Children Education

My photo
Based on Islamic system. We commit to be partner for parents to provide educated play ground for their beloved children. Contact us: Jl.Danau Maninjau Raya No.221, Ph 62-21-7712280/99484811 cp. SARI DEWI NURPRATIWI, S.Pd