Tuesday 14 July 2009

Belajar Tak Berpamrih

Tidak selamanya kerja keras anak harus dihargai dengan materi. Kalau mau sukses, "You have to serve someone," demikian diungkapkan pakar pendidikan Gary North. Dengan kata lain, siapa yang melakukan kebajikan dengan ikhlas, dia jugalah yang akan merasakan manfaatnya di kemudian hari.

Perkara sikap luhur itu akan berbalas menjadi urusan nomor dua. Sayangnya, mengajarkan hal ini kepada anak bukanlah hal mudah. Menurut Tri Novida, Psi., itu terjadi lantaran orangtua terbiasa mengupah anak saat melakukan sesuatu. Saat hendak menyuruh membeli telur ke warung terdekat, misal, orangtua tak pernah lupa menitipkan uang. "Kembaliannya buat Kakak ya." Atau ketika disuruh mengantarkan barang ke tetangga, orangtua tak pernah absen menitipkan "uang perangko".

Selain itu, lingkungan pun ikut berpengaruh. Mungkin saja orangtua tak membiasakan memberi upah, tapi karena melihat teman, saudara, atau anak lain terbiasa diberi uang seusai melakukan perintah, maka anak pun ikut-ikutan. Saat orangtua menitip uang untuk membeli terigu, anak pun segera berujar, "Ongkosnya mana?"

MAGNET BAGI TEMAN
Terbiasa menjadi "pekerja upahan", menurut Tri, dapat berdampak negatif. Pertama, anak menganggap materi sebagai bayaran pantas untuk setiap usahanya. Padahal, tak selamanya orangtua memiliki uang lebih untuk membayar. Repot kan, jika setiap disuruh beli sesuatu di warung, anak terus meminta upah. Lebih repot lagi jika anak mendadak mogok bekerja karena orangtua enggan memberikan upah. Padahal, sudah menjadi kewajiban anak untuk melaksanakan permintaan orangtua.

Kedua, nantinya anak terbiasa melihat sesuatu dari "untung-rugi" yang didasarkan dari materi. Jika saya berteman dengan si A, saya dapat apa. Jika saya membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, saya akan mendapat apa. Jika dia hanya melihat "pepesan kosong" maka dia akan berpikir ulang untuk melakukannya. Sikap ini jelas sangat kurang baik bagi pergaulan sosialnya. Ingat, dalam sehari-hari, anak harus terbiasa memberi dan melayani orang lain tanpa pamrih. Itulah yang menjadi magnet teman-teman mendekatinya. Jika dia terus-menerus melihat sesuatu dari untung rugi, bukan tak mungkin jika teman-temannya akan menjauhi.

Ketiga, karena terbiasa mendapat bayaran, anak jadi miskin empati. Ini karena empati membutuhkan pengorbanan. Tidak hanya waktu dan tenaga, tapi juga materi yang dimiliki. Bagaimana mau berkorban, jika mau diminta pertolongan saja harus dibayar?

Keempat, anak sulit berbagi dengan orang lain. Egonya terus membumbung tinggi. Kepentingannyalah yang harus dinomorsatukan, sedangkan kepentingan orang lain bisa diabaikan. Kesulitan berbagi, membuat anak 6-9 tahun sulit mendapat teman. Sedangkan pada anak 9-12 tahun, bukan tak mungkin jika dia sulit diterima dalam kelompoknya.

CUKUP PUJIAN
Jadi, haruskah orangtua menghentikan kebiasaan memberi upah? "Tidak juga," kata Tri. "Sesekali orangtua dibenarkan memberi upah." Sikap itu justru mengajarkan prinsip bekerja. Hasil jerih payah orang lain itu harus dihargai. Membeli sesuatu di warung, mengantarkan surat ke tetangga, juga memijati seluruh badan ayah membutuhkan tenaga dan waktu. Semua itu harus dihargai. Meski demikian, saat memberi upah, orangtua sebaiknya memberikan penjelasan, "Ibu menghargai usahamu yang sudah keliling ke tiga warung untuk membeli sayuran ini. Sebagai imbalannya, Ibu akan memberimu seribu rupiah." Agar tak ketagihan, cobalah katakan, "Eh, ini ada uang kembaliannya lima ratus rupiah, buatmu saja ya. Tapi, tidak setiap Ibu suruh kamu pasti mendapat uang, ya."

Kenalkan juga, tidak semua hasil jerih payahnya harus dihargai dengan materi, entah berupa uang atau barang. "Pujian atau ucapan terima kasih pun sebenarnya sudah cukup." Orangtua jangan segan untuk mengucapkannya. Juga jangan sampai merasa berdosa jika lupa memberikan uang seusai menyuruh anak. "Justru harus dikenalkan agar anak belajar melakukan sesuatu tanpa pamrih." Dengan demikian, anak belajar segala usahanya tidak selalu harus dibayar uang. Toh, membuat orangtua senang sudah membuatnya bangga.

Hal lain yang perlu diingat, sebaiknya menghindari memberi uang, barang, atau pujian berlebihan saat anak mengerjakan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya. Membereskan kamar, merapikan buku, mencuci piring makannya sendiri, dan rutinitas lain adalah kewajibannya sendiri yang harus dilakukan. "Jika di awal-awal, mungkin tak masalah orangtua memberi pujian sebagai pembangkit motivasi, tapi tidak baik jika dilakukan terus-menerus."

Alangkah lebih baik jika orangtua menumbuhkan motivasi dari dalam diri anak, manfaat apa sajakah yang akan didapat jika dia berhasil melakukan rutinitasnya sehari-hari dengan baik. Kamar yang rapi membuatnya lebih nyaman beristirahat dan belajar. Buku yang tertata memudahkannya dalam pencarian, dan lain-lain.

Juga, sekali-kali jangan mengancam anak jika tidak menuruti perintah orangtua. "Awas, kalau tidak mau disuruh menyiram tanaman, Ibu jewer!" Ancaman akan membuat anak semakin ogah menuruti perintah orangtua. Pun tidak membuat motivasi dalam dirinya tumbuh. Alangkah lebih baik jika orangtua berkata, "Hari ini Ibu capek sekali. Ibu berterima kasih jika kamu bersedia menyiram tanaman di depan rumah, tanaman itu akan tumbuh dengan baik, pemandangan rumah kita pun menjadi indah." Anak tahu, menyiram tanaman bukan menjadi tugasnya, tetapi untuk menyenangkan hati ibu, dia mau melakukannya. Lagi pula, dia senang tinggal di rumah yang indah dan asri. Disamping orangtua juga harus memerhatikan etika meminta tolong seperti mengucapkan, "Tolong". Pun melihat situasi dan kondisi, semisal, apakah anak terlihat sedang sibuk, mengerjakan pekerjaan rumah, sedang tidak mood, asyik bermain, dan lain-lain. Ingat, anak juga memiliki hak untuk bermain tanpa diganggu.

BEKERJA TANPA PAMRIH
Nah, bagaimana mengajari anak bekerja tanpa pamrih? Mudah saja, ungkap Tri, lewat cerita, anak dapat dikenalkan tentang nilai luhur tadi. Orangtua bisa menceritakan kisah "Johnny the Apple Seed". Sebuah kisah tentang seorang anak bernama Johnny yang senang berkelana. Ia selalu mengantongi segenggam biji apel di kantongnya. Ke mana pun dia pergi, dia selalu menebarkan biji apel tersebut, sehingga dia terkenal sebagai Johnny the Apple Seed. Dia tak berpikir, apakah benih yang ditebarkannya akan tumbuh. Dia juga tak berniat menikmati buahnya, atau berteduh di bawahnya. Sikap Johnny itulah yang menumbuhkan ribuan pohon apel yang dinikmati anak saat ini. Anak 9-12 tahun, juga bisa dibelikan buku-buku tentang biografi seseorang yang penuh pengorbanan. Buatlah diskusi hangat tentang buku yang baru dibacanya itu. Lewat pendekatan agama juga bisa. Setiap agama sangat menjunjung nilai-nilai luhur kebaikan.

Orangtua bisa mengajarkan sikap berbuat baik kepada anak. Tuhanlah yang akan membalas setiap kebaikan. Bisa juga dengan menceritakan tokoh yang penuh pengorbanan seperti Bunda Teresa. Pendekatan spiritual ini sangat bermakna buat anak. Setiap sesuatu yang dilakukannya, mungkin saja tak dihargai atau dilihat manusia, tapi niscaya semua itu akan dilihat dan dibalas oleh Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua juga bisa mempraktikkan, bagaimana bekerja tanpa pamrih. Saat melihat mobil orang lain mogok, orangtua bisa mengajak anak membantu mendorong mobil itu. Atau, saat saudara mengalami musibah banjir, orangtua bersama anak bisa bersama-sama membantu membersihkan rumah saudara yang kotor tersebut. Biarlah anak mendapat rewards langsung dari orang yang ditolong, sehingga membuat motivasinya untuk berbuat baik semakin meningkat.

Menyisihkan sebagian uang jajan atau pakaian yang tak terpakai, lalu diberikan kepada anak lain yang tidak mampu, juga akan menumbuhkan pengorbanan. Anak belajar, tidak hanya waktu dan tenaga saja yang harus rela dikorbankan, tapi juga materi yang dimiliki. Terakhir, teladan menjadi hal terdepan agar anak mau mencontoh. Orangtua bisa menjadi contoh bekerja tanpa pamrih, membantu orang tanpa mengharap imbalan, dan ringan tangan saat orang lain mengharapkan bantuan.

JANGAN JADI ROBOT
Senang menolong orang lain bukan berarti anak dibiarkan diperbudak. Karena itu, saran Tri Novida, ajari anak bahwa dia dapat menolong orang lain sesuai dengan kemampuannya. Jika dia merasa tak bisa atau terpaksa ditunda, katakan dengan sopan, dia tak bisa melakukannya. Seperti, "Maaf ya, saya tidak bisa membantumu menyelesaikan tugas sekolah karena sibuk membantu ibu di dapur." Atau, "Ma, Kakak sedang asyik menonton teve, nanti sepuluh menit lagi ya, Kakak belikan pesanan Mama."

Ajarkan juga sikap asertif kepada anak, dia dapat menolong orang lain dengan syarat kepentingannya tak terganggu. Jangan sampai dia diperbudak teman-temannya, disuruh ini dan itu mau saja, tanpa bisa menolak. Persis seperti robot. Ingat, dia memiliki hak untuk menolak.
Anak juga harus dikenalkan, dia memiliki otoritas pada miliknya sendiri. Dia memiliki hak untuk berbagi miliknya atau tidak dengan orang lain. Itu dilakukan dengan berbagai alasan. Mainan favorit, misal, mungkin saja dia tidak mau berbagi dengan orang lain. Atau dia sebenarnya mau berbagi, tapi karena orang yang hendak diajak berbagi ceroboh, maka dia segan untuk berbagi. "Bonekaku yang kemarin saja dirusaknya, bagaimana aku mau tega membagi mainan bergambar ini," begitu gumam anak. Jadi, tak mau berbagi tidak selalu identik dengan pelit.

Sumber : tabloid-nakita.com

No comments:

PG/ TK ISLAM SMART BEE - Children Education

My photo
Based on Islamic system. We commit to be partner for parents to provide educated play ground for their beloved children. Contact us: Jl.Danau Maninjau Raya No.221, Ph 62-21-7712280/99484811 cp. SARI DEWI NURPRATIWI, S.Pd