Sunday 22 March 2009

Mengajak Anak Bekerja (Bagian 2 - Habis)

Sambungan....

Lagipula dengan mendorong anak mempelajari berbagai pekerjaan akan membuatnya memiliki sikap lebih terbuka dan mudah menyesuaikan diri. "Anak akan mampu mengurus diri sendiri bila kelak dewasa. Juga akan lebih menghargai pekerjaan orang lain," terang staf pengajar pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ini.

BERI CONTOH
Saat melatih si kecil bekerja, orang tua diminta tak hanya sekedar menyuruh atau memberi perintah. Apalagi terhadap anak usia 3 tahun yang masih belum memahami arti perintah. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang harus dilakukan sesuai perintah. "Ajak ia bekerja sambil kita memberi contoh!" kata Zahra. Misalnya saat mengajaknya menggosok gigi, katakan, "Ambil dulu airnya. Sekarang sikat giginya diberi odol..."
Selain itu, anak usia prasekolah sedang kuat-kuatnya meniru. Mereka tertarik terhadap apa yang dilakukan orang tuanya dan kemudian menirunya. Jika Anda memintanya untuk menyikat gigi sebelum tidur sementara si anak tak pernah melihat Anda melakukannya, besar kemungkinan ia akan menolak. Dalam memberi contoh, kita tak harus secara jelas meminta anak untuk memperhatikan. Misal, "Lihat, nih, Mama sedang menyikat gigi," atau, "Lihat, nih, Mama sedang menyapu." Sebab, meski anak tak melihat langsung, tapi sebenarnya ia diam-diam mengamati.

Yang juga harus diperhatikan, tambah Zahra, beri ia penjelasan mengapa ia harus melakukan sesuatu pekerjaan. "Anak usia 3 tahun biasanya tak banyak bertanya bila diminta melakukan sesuatu. Paling sering ia bertanya, kenapa? Beda dengan anak usia 4-5 tahun, seringkali bertanya dan pertanyaannya pun lebih dalam. Kenapa harus rapi? Kalau tidak rapi bagaimana? Ia pun suka meminta pendapat orang tuanya akan apa yang ia lakukan. Apakah boleh melakukannya begini atau begitu," paparnya.

KOREKSI DIRI
Sering terjadi anak merajuk dan malas atau menolak tugas. Ini wajar saja dalam membentuk pola mengingat anak usia 3-5 tahun belum terbentuk polanya. Anak pun belum tahu persis manfaat langsung bagi dirinya. "Seusia itu anak masih hedonis, masih bersenang-senang dan bermain-main, melakukan apa yang enak buat dirinya," terang Zahra. Yang penting, jangan bosan memberinya pengertian. "Kalau kamu tidak menyikat gigimu, nanti gigimu bisa rusak." Jadi, anak harus tahu bahwa sesuatu ada konsekuensinya. Begitu pun kala anak melakukan kesalahan atau gagal dalam pekerjaannya. "Beri tahu apa yang seharusnya ia lakukan dan bagaimana melakukannya dengan benar," nasehat Zahra.

Jangan menghukum anak karena hukuman tak memberi tahu pada anak mengenai "apa yang harus dilakukan" sebagai ganti atas "apa yang tak boleh dilakukan". Toh, kita belum bisa menjamin, pola yang kita bentuk itu sudah terjadi, karena anak masih dalam taraf belajar atau latihan. Di sisi lain, orang tua harus rajin melakukan koreksi diri. Mungkin saja kegagalan anak melakukan suatu tugas, karena pekerjaan itu melebihi batas kemampuannya. Anak usia 3 tahun, misalnya, disuruh menyemir sepatu. Tentu kita tak bisa berharap ia akan melakukannya dengan baik. Atau anak umur 5 tahun belum bisa mandi sendiri. Boleh jadi karena sebelumnya Anda tak pernah melatih si kecil mandi sendiri. Maka jangan katakan, "Sudah besar, kok, enggak bisa mandi sendiri!" atau memarahinya. Nah, mulailah melatihnya dan membiasakan ia mandi sendiri.

Menuntut anak melakukan suatu pekerjaan yang belum pernah diajarkan kepadanya maupun yang melebihi batas kemampuannya, hanya akan membuatnya frustrasi. Akibatnya, anak memaksakan dirinya untuk melakukan daripada dimarahi atau dihukum ayah/ibunya. Atau sebaliknya, anak menolak sama sekali.

PERLU HADIAH
Sebaliknya bila anak melakukan pekerjaan dengan baik, berilah pujian secara spontan. Katakan, "Lihat, tempat tidurmu jadi rapi. Kamu berhasil melakukannya." Atau, "Wah, gigimu putih bersih. Itu karena kamu rajin sikat gigi." Pujian, menurut Zahra, bukanlah imbalan melainkan sebagai penguat. Anak akan senang bahwa apa yang ia lakukan dihargai. Ini akan mendorongnya untuk melakukan tingkah laku itu lagi. Apalagi anak usia ini suka sekali mengatakan, "Ibu, aku pintar, kan? Aku bisa, kan?"

Pujian juga bisa disertai ungkapan afeksi seperti pelukan, ciuman, usapan kepala, tepukan di bahu, dan sebagainya. "Ungkapan afeksi ini merupakan pendorong yang paling penting dapat kita berikan kepada anak," kata Zahra. Bagaimana dengan imbalan hadiah? Misal, anak dijanjikan akan dibelikan mobil-mobilan atau jalan-jalan ke Dunia Fantasi apabila ia bisa merapikan tempat tidurnya? Zahra agak keberatan. "Sepertinya, kok, enggak sebanding, ya," ujarnya. Zahra berpendapat, hadiah lebih pantas diberikan untuk hal-hal yang sifatnya mengandung prestasi yang harus diraih anak. Misalnya jika nilai menggambarnya bagus atau ia berani tampil menyanyi di depan kelas. Sehingga anak akan berusaha untuk memperjuangkannya.

Bila kita terlalu mengumbar hadiah yang sifatnya cukup berharga, Zahra khawatir anak akan terlalu biasa dan sangat menantikannya. Akibatnya, satu ketika kita bakal kebingungan sendiri. "Sesekali bolehlah kita berikan yang kecil-kecil seperti es krim atau makanan favorit anak," katanya. Itu pun dalam keadaan, misalnya anak merajuk, banyak hal yang sudah dikerjakan, atau tugas tersebut agak susah dan saat itu ia ingin es krim. Katakan saja, "Ya, nanti Mama belikan es krim. Tapi bereskan dulu, dong, tempat tidurnya." Biasanya anak mau. Tapi tentunya jangan sampai hal ini menjadi kebiasaan. Karena bisa-bisa, anak mau melakukan suatu pekerjaan hanya karena ia ingin mendapatkan imbalan. Celaka, kan?

Sumber : Tabloid Nakita

www.smartbee221.blogspot.com

No comments:

PG/ TK ISLAM SMART BEE - Children Education

My photo
Based on Islamic system. We commit to be partner for parents to provide educated play ground for their beloved children. Contact us: Jl.Danau Maninjau Raya No.221, Ph 62-21-7712280/99484811 cp. SARI DEWI NURPRATIWI, S.Pd